Sabtu, 30 April 2011

berbagi cerita, berbagi info Inilah 15 Janji SBY-Boediono [Kalau Menang]


Pada kampanye terakhir di SUGBK hari ini, pasangan capres-cawapres SBY-Boediono menyampaikan janji-janjinya seandainya kelak terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014. Janji ini perlu kita catat, siapa tahu beliau terpilih. Seandainya terpilih nanti, janji ini bisa kita tagih. Ada kata pro rakyat (slogan Mega-Prabowo) di janji nomor 2. Berikut janji pasangan SBY-Boediono …


  1. Pertumbuhan ekonomi minimal 7 persen sehingga kesejahteraan rakyat meningkat.
  2. Kemiskinan harus turun 8-10 persen dengan meningkatkan pembangunan pertanian, pedesaan dan program pro rakyat.
  3. Pengangguran turun 5-6 persen dengan cara meningkatkan peluang lapangan pekerjaan dan peningkatan penyaluran modal usaha.
  4. Pendidikan harus ditingkatkan lagi. Mutu infrastruktur dan kesejahteraan guru dan dosen ditingkatkan. Persamaan perlakuan sekolah negeri-swasta-agama. Tetap melanjutkan sekolah gratis bagi yang tidak mampu.
  5. Masalah kesehatan dengan terus melakukan pemberantasan penyakit menular dan melanjutkan pengobatan gratis bagi yang tidak mampu.
  6. Swasembada Beras dipertahankan. Ke depannya Indonesia akan menuju swasembada daging sapi dan kedelai.
  7. Penambahan Energi daya listrik secara nasional. Kecukupan BBM dan pengembangan energi terbarukan.
  8. Pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari perhubungan, pekerjaan umum, air bersih, TI, maupun pertanian.
  9. Peningkatan pembangunan rumah rakyat seperti proyek rusun murah untuk buruh, TNI/ Polri, dan rakyat kecil.
  10. Pemeliharaan lingkungan terus ditingkatkan seperti dengan reboisasi lahan.
  11. Kemampuan pertahanan dan keamanan terus ditingkatkan seperti pengadaan dan modernisasi alustsista TNI/ Polri.
  12. Reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi terus ditingkatkan.
  13. Otonomi daerah dan pemerataan daerah ditingkatkan.
  14. Demokrasi dan penghormatan terhadap HAM makin ditingkatkan. Jangan terjadi lagi pelanggaran HAM berat di negeri ini.
  15. Peran Indonesia makin ditingkatkan di dunia internasional. Berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia.

TAHUN 2025, ANGKA HARAPAN HIDUP PENDUDUK INDONESIA 73,7 TAHUN


  
JAKARTA, 2 Agustus 2005 – Penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 273,65 juta jiwa pada tahun 2025. Pada tahun yang sama angka harapan hidup diperkirakan mencapai 73,7 tahun, suatu peningkatan yang cukup tinggi dari angka 69,0 tahun pada saat ini.  Selain itu, dalam periode 20 tahun yang akan datang, Indonesia diperkirakan dapat menekan angka kelahiran total (Total Fertility Rate – TFR) dan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate IMR) serta meningkatkan proporsi penduduk usia lanjut.

            Data estimasi menunjukkan bahwa TFR yang saat ini 2,23 per wanita akan turun menjadi 2,07 per wanita pada tahun 2025, dan IMR dapat ditekan dari 32 per 1000 kelahiran hidup saat ini menjadi 15 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2025. Sementara itu proporsi penduduk usia lanjut (65 tahun ke atas) akan meningkat dari 5,0% saat ini menjadi 8,5% di tahun 2025.

            Data estimasi ini tercatat dalam buku Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025 yang disusun oleh Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pusat Statistik.  Buku yang penyusunan materi dan penerbitannya dibiayai oleh Dana Kependudukan PBB (The United Nations Population Fund – UNFPA) ini diluncurkan pada tanggal 2 Agustus 2005 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Proses penyusunan proyeksi penduduk untuk penulisan buku ini telah dimulai sejak pertengahan bulan November 2004 melalui kerjasama dengan lembaga terkait antara lain Departemen Kesehatan, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) serta tim konsultan yang terdiri dari para pakar demografi dan statistik.

Bagi Pemerintah khususnya Bappenas, Proyeksi Penduduk ditujukan guna mendukung penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebagai penjabaran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.  Penyusunan RPJP memerlukan gambaran mengenai kondisi kependudukan saat ini maupun 20 tahun mendatang.

Dengan diluncurkannya buku Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025, diharapkan semua lembaga baik Pemerintah maupun swasta memiliki acuan yang sama dalam menggunakan data penduduk untuk berbagai kepentingan pembangunan nasional.  Buku ini diharapkan bermanfaat untuk setiap daerah dalam mempersiapkan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) masing-masing.

Sumber: BPS, BAPPENAS

Intelek Pengais Rupiah


Pendidikan dan Pengajaran
Penelitian dan Pengembangan
Pengabdian pada Masyarakat
(Tri Dharma Perguruan Tinggi)
Menjelang akhir dari ambang batas terakhir pengumpulan karya tulis penelitian mahasiswa dalam salah satu program bentukan Dikti Mendiknas, semakin kian terasa gemuruh euforia aroma yang sepertinya pantas diterminologikan “meneliti = mengais rupiah”, kini semakin menjadi-jadi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa menjelang zaman pascareformasi, budaya-budaya literasi atau budaya intelektual empunya kaum-kaum intelektual baik mahasiswa atau bahkan dosen semakin memudar dan tengah tergeser menuju arus hedonis. Kini jauh lebih sering ditemukan para mahasiswa yang tengah asik bermain kartu, pacaran, kongkow-kongkow sambil menghabiskan batang demi batang rokok atau bahkan berjudi kecil-kecilan di berbagai penjuru kampus. Dan banyak pula kini dijumpai realita dosen-dosen yang surplus mengajar bahkan sampai beberapa kampus namun defisit karya tulis penelitian. Mahasiswa yang lekat dengan sebutan “Intelektual” kini tak ubahnya dan tidak ada bedanya dengan orang-orang tidak berpendidikan dan pengangguran yang ada di lorong-lorong gang kecil di pinggiran-pinggiran kota besar.
Analisis sederhana mengapa realita ini terjadi begitu membumi di kalangan kaum intelektual baik mahasiswa maupun dosen seperti yang telah digambarkan di atas, ada yang beropini bahwa realita ini terjadi karena usaha-usaha “mereka” pihak-pihak yang memang menginginkan agar Indonesia tidak menjadi bangsa maju dan tetap menjadi bangsa bodoh agar bisa terus menerus dibodohi, dikeruk sumber daya yang melimpahnya dengan cara-cara halus nan modern, dan bahkan dibuat seperti negara jajahan meskipun kita sebagai putra bangsa tidak menyadarinya sehingga kondisi ini akan senantiasa “mereka” terus lestarikan sampai tujuan untuk menguasai seluruh harta kekayaan Indonesia tercapai.
Di sisi yang lain dirasa bangsa ini (baca: Indonesia) harus bersyukur karena tidak sedikit juga dari kaum-kaum intelektual (baca:mahasiswa) itu yang juga secara bersamaan tengah berproses menjadi pasukan-pasukan langit, menjadi soekarno-soekarno muda, hatta-hatta muda, sudirman-sudirman muda, habibie-habibie muda, syahrir-syahrir muda, kartini-kartini muda dan manusia Indonesia lainnya yang betul-betul melejit oleh karena pendidikan yang mampu memanusiakan manusianya dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka berjibaku melawan arus kebatilan dengan pikiran, tenaga, harta, bahkan darah dan jiwa mereka. Hidup dan gerak langkahnya senantiasa dipenuhi dengan pikiran agar mampu terwujud peradaban bangsa, umat, dan negaranya yang jauh lebih baik di masa mendatang.
Dengan realita kehidupan di kota-kota besar yang semakin sulit dan mahal, situasi dan permasalahan negeri yang semakin tidak menentu, serta juga para pembesar-pembesar negeri yang telah diamanahkan justru seperti menghianati amanah yang tengah diembannya demi memuluskan kepentingan golongan dan kepentingan pribadi semata. Kemudian mau tidak mau mahasiswa pun turut terkena efek domino dan akhirnya sedikit atau banyak aroma pragmatis juga mulai menghinggapi mahasiswa agar dapat bertahan hidup di kota besar dan dapat terus melanjutkan studi hingga tahap akhir demi meraih cita dan mempersiapkan hidup yang lebih baik di masa mendatang. Ada yang menggunakan jalan “pintas” untuk dapat mengatasi realita tersebut seperti menjadi massa demo bayaran, ada pula yang masuk ke ranah politis praktis mendekati tokoh-tokoh politik karena memiliki jabatan penting dalam organisasi kampus, kemudian ada pula yang menjadi calo-calo ujian SNMPTN ataupun UN, dan lain sebagainya. Namun ada juga yang berusaha dengan cara-cara yang baik dan halal, seperti berjualan aksesoris, pakaian, buku, alat tulis, dan pula ada yang memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya seperti, menjadi makelar barang, membuka jasa pengetikan, membuka les privat, mencari beasiswa, bimbel dan lain sebagainya.
Akhir-akhir ini mulai ramai menjadi perbincangan mengenai karya-karya tulis penelitian, karena kini pemerintah juga mulai gencar membuka program-program penelitian dengan hibah puluhan juta rupiah sehingga menjadi begitu terasa menggiurkan. Hal ini mungkin dilakukan untuk menggenjot produktivitas penelitian mahasiswa dan dosen setelah muncul data hasil penelitian yang menunjukkan begitu rendahnya tingkat produktivitas penelitian yang terejawantahkan melalui karya-karya tulis ilmiah, Indonesia kini merupakan salah satu negeri yang mulai tertinggal dan terbelakang dalam tingkat produktivitas penelitiannya sehingga Indonesia terus menerus senantiasa mati daya kreativitas dan inovasinya serta dicap juga sebagai negara “plagiator” dalam berbagai hal mulai dari film, musik, trend fashion, budaya, food, bahkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Negeri ini menjadi kehilangan identitas aslinya, tertinggal, dan terbelakang diantara bangsa-bangsa lainnya di dunia.
Rasanya kita patut bangga dan senang atas hidupnya kembali budaya literasi terutama budaya meneliti pada kaum intelektual khususnya mahasiswa, karena selain menghidupkan budaya baca, tulis, dan diskusi yang sangat penting tapi juga mengejawantahkan poin kedua dari tri dharma perguruan tinggi itu sendiri.
Hal ini seperti memberi secercah angin harapan dan mimpi baru agar negeri ini (baca:Indonesia) mampu tegak berdiri kembali sejajar diantara bangsa-bangsa lainnya. Meminjam perkataan Soekarno, “Agar bangsa Indonesia tidak menjadi bangsa budak dan budak diantara bangsa-bangsa di dunia”. Meskipun begitu, namun ada beberapa hal yang penting untuk perlu digarisbawahi dan perlu dibenahi yaitu mengenai orientasi dan motivasi utama rekan-rekan mahasiswa mulai meneliti. Agar tidak marak lagi mahasiswa-mahasiswa yang mulai meneliti karena berorientasi kepada rupiah (baca:uang) untuk menyambung hidup mereka di kota besar. Sungguh merupakan salah satu hal yang tidak tepat jika rupiah (baca:uang) menjadi orientasi dan motivasi utama dalam meneliti, karena khawatir di masa mendatang generasi seperti ini hanya akan menjadi generasi-generasi buih, dan generasi-generasi yang menghambakan diri kepada rupiah (baca:uang) sehingga segala sesuatunya hanya berdasar pada uang. Biasanya terlihat jelas sekali mahasiswa-mahasiswa yang meneliti orientasi dan motivasinya karena rupiah (baca:uang), mereka akan sibuk bahkan super sibuk sekali mengerjakan karya tulis penelitian ketika menjelang ambang batas akhir pengumpulan karya tulis penelitian. Dan ide yang mereka gunakan pun adalah ide-ide dadakan atau bahkan ide-ide bajakan dari karya tulis penelitian lainnya. Berbeda dengan mereka yang benar-benar meneliti dengan orientasi dan motivasi utama untuk belajar dan mengupgrade diri menjadi pribadi-pribadi unggul penuntas mimpi, mereka akan lebih mempersiapkan semuanya sejak lama dan betul-betul mematangkan serta memikirkan ide-ide kreatif dan inovatif.
Tidak ada pihak yang patut disalahkan dalam hal ini, hanya saja mudah-mudahan masalah orientasi dan motivasi utama dalam meneliti kaum intelektual tidak lagi terjebak dalam pikiran-pikiran sempit dan kecil serta kesempatan untuk meneliti melalui program-program yang telah dikembangkan oleh pemerintah melalui Mendiknas guna meningkatkan produktivitas penelitian, dapat kita maksimalkan untuk benar-benar mengupgrade diri dan belajar sungguh-sungguh untuk mempersiapkan hidup yang jauh lebih baik di masa depan.
Terakhir, barangkali kita perlu disegarkan kembali oleh Adagium kuno dari seorang filsuf, “Seneca non scholae sed vitae discimus”. Kita belajar bukan untuk nilai, uang, pangkat, populeritas, dan lainnya segala pikiran yang sempit, melainkan kita belajar untuk hidup. Segemilang apa pun hasil yang kita peroleh, tanpa didasari oleh sebuah proses yang matang, hanya akan menciptakan kesuksesan jangka pendek yang rapuh.
Selamat Berkarya Kaum Intelektual Indonesia...!!                           
Bravo kaum intelektual Indonesia..!
Harman

JEJAK PEMIKIRAN B.J. HABIBIE



Peradaban Teknologi untuk Kemandirian Bangsa
Selama dua pulkuh tahun lebih Bacharuddin Jusuf Habibie di rantau, lalu kembali ke tanah air, Setelah belajar dan bekerja di Jerman. Ia diberi kepercayaan serta tugas untuk memimpin beberapa jabatan penting dalam pemerintahan dan sejumlah lembaga lainnya. Jabatan dan tugas penting yang pernah diembannya dalam Kabinet pembangunan adalah portofolio Kementrian Negara Riset dan Teknologi merangkap Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, sejumlah industri strategis, Otorita pengembangan Daerah industri pulau Batam, dan beberapa lembaga lainnya. Selama itu pula, berbagai pemikiran gagasan dikeluarkannya. Bahkan tidak hanya terbatas pada pemikiran dan gagasan, tetapi ia juga memberikan bukti nyata bahwa pemikiran dan gagasan itu, tidak hanya terhenti pada ucapan dan pidato, tetapi dapat menjadi kenyataan yang dapat menyelesaikan persoalan bangsa.
Pada 1978, terjadilah perubahan mendasar pada kegiatan penelitian di Indonesia ketika B.J. Habibie dilantik menjadi Mentri Negara Riset dan Teknologi/Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Sejak itu pula, kegiatan penelitian lebih terfokus untuk menghasilkan teknologi yang diterapkan bagi keperluan pembangunan. Akronim Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), mulai populer yang beberapa tahun kemudian disebarluaskan sehingga tercapai kesepakatan nasional (1993) untuk menjadikan Iptek sebagai salah satu asas pembangunan.
Kemudian, muncul gagasan B.J. Habibie mengenai konsep transformasi industri nasional. Gagasan itu pertama kali disampaikan pada sebuah ceramah umum di Bandung, tetapi secara resmi dipublikasikan pada 14 Juni 1983 di Bonn pada ceramah yang judulnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: “Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri suatu Negara sedang Berkembang”.
Pemikiran dan gagasannya tentang transformasi industri misalnya, lahir ketika ia melihat kemampuan dan kesiapan sumber daya manusia yang tersedia, sarana dan prasarana teknologi yang ada pada saat itu masih minim. Ia juga melihat adanya kendala waktu dan ketertinggalan serta keterbelakangan teknologi bangsa kita dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang telah berkembang lainnya. Dunia penelitian sangat terbatas, peneliti sangat kurang, dana penelitian sangat kecil bahkan hampir tidak ada artinya. Adapun konsep transformasi industri tersebut adalah “Mula dari Akhir dan Berakhir di Awal”. Proses ini merupakan kebalikan dari proses klasik yang selama ini dikenal, tetapi pengembangan unsur-unsur teknologi yang terkait termasuk pengembangan sumber daya manusia dilaksanakan dengan proses normal maju ke depan, dari tingkat dasar hingga tingkat yang paling tinggi. Dengan empat tahap transformasi teknologi yang diterapkan oleh B.J. Habibie, terlihat jelas bahwa konsep ini merupakan cara yang efisien, realistik, dan sistematik di dalam alih dan difusi teknologi industri untuk mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia di bidang Iptek dari bangsa-bangsa yang telah maju lainnya.
Pengembangan unsur-unsur teknologi yang terkandung di dalam penahapan ini dilakukan secara evolutif, tetapi mengalami percepatan proses karena dilaksanakan dalam rangka penerapan transformasi teknologi yang “Mulai dari Akhir dan Berakhir di Awal” ini. Oleh B.J. Habibie, unsur-unsur yang terkandung disetiap tahapan transformasi ini disebut satuan mikro evolutif yang dipercepat atau Micro Accelerated Evolution Unit disingkat MAEU. B.J. Habibie biasa mengatakan, kita tidak bisa membuat sebuah penemuan ulang sesuatu teknologi yang sudah lama ditemukan bangsa lain. Karena kita akan tertinggal. Negara industri maju sudah lama menemukan dan menggeluti teknologi canggih.
Untuk melaksanakan program transformasi ini, diperlukan wahana atau kendaraan untuk mencapai tujuan. Dari sekian wahana, digunakan antara lain wahana industri dirgantara, industri maritim dan perkapalan, serta wahana industri strategis lainnya. Di industri dirgantara, setelah melalui penahapan awal teknologi yang sudah ada (memakai lisensi), maka tahap integrasi teknologi, lahirlah N-235. Kemudian pada tahap pengembangan teknologi, lahirlah N-250. Di industri perkapalan, lahirlah cakara Jaya, Palwo Buwono. Demikian pula di beberapa industri strategis lainnya. Produk-produk itu, akan membuka lapangan kerja yang juga berarti membantu meningkatkan kualitas SDM bangsa Indonesia yang produktif. Memperbesar penyerapan pasar domestik dengan menggunakan produk dalam negeri berarti memberikan kontribusi terhadap proses nilai tambah, kesejahteraan dan keunggulan bangsanya sendiri. Kenyataan semacam ini sangat disadari oleh masyarakat Jepang, bahkan negara industri maju lainnya. Mereka sangat mencintai produk bangsanya sendiri dan sulit dipaksa untuk membeli produk luar negeri sehingga neraca perdagangan mereka dengan negara lain selalu positif.
Sangat relevan dengan strategi ini, khususnya pada tahap terakhir untuk melakukan penelitian dasar, lahirlah Pusat Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) di Serpong, sebagai sarana untuk melakukan penelitian dasar melalui berbagai jenis laboratorium yang dipercayakan kepada Lembaga Pemerintah Non-Departemen Dalam Lingkup Ristek. Dengan berbagai laboratorium Iptek yang dimiliki, Puspitek diharapkan dapat melaksanakan berbagai riset lapangan (ground research) serta berperan sebagai sinergi bagi kegiatan riset dan pengembangan Iptek.
Dalam kebijakan makroriset dan teknologi, dibuat “Matriks Nasional Riset dan Teknologi”, untuk memusatkan perhatian masyarakat ilmiah dan masyarakat umum pada tujuan yang harus diemban oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan dikembangkan di Indonesia.
Untuk melengkapinya, dibentuk Dewan riset Nasional (DRN) yang merupakan wadah koordinasi non strukutural, yang mempersiapkan perumusan program ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Mentri Negara Riset dan Teknologi.
Disusul lahirnya Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang merupakan salah satu tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya masyarakat ilmiah di Indonesia bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mendapat perhatian sangat besar dalam rangka pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.
Pada 1993, untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka pada GBHN 1993 di masa kabinet Pembangunan, disepakati secara nasional, bahwa pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), selain sebagai bidang pembangunan tersendiri yang harus dimanfaatkan, dikembangkan, dan dikuasai, juga sebagai salah satu asas pembangunan.
Adakah gagasan dan strategi transformasi teknologi yang tel;ah dikembangkan oleh B.J. Habibie lebih satu dekade yang lalu telah bergesr dengan strategi pengembangan Iptek yang ideal di Indonesia sekarang ini? Khususnya dalam wacana yang sering muncul mengenai kebijakan Inovasi Teknologi untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi?
Telah disadari diperlukannya mitra segi tiga antara dunia usaha, pemerintah, dan perguruan tinggi untuk mempercepat difusi kemajuan teknologi serta kemampuan inovasi. Sebenarnya, hal ini sudah lama menjadi gagasan B. J. Habibie, seperti yang kita temui dalam buku ini. Bahkan, kemitraan ketiga komponan bangsa terssebut sudah dilaksanakan.
Puspitek misalnya sudah didirikan untuk melakukan riset lapangan, bersinergi dengan kegiatan pengembangan Iptek pihak swasta. Gagasan Link & Match adalah usaha untuk menciptaka sinergi antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan praktis dunia industri. Sementara industri strategis didirikan di kota yang memiliki perguruan tinggi yang unggul dengan industri yang dikembangkan. Demikianlah IPTN bersinergi dengan ITB Bandung dalam teknologi dirgantara, PT PAL di Surabaya bersinergi dengan ITS Surabaya dalam bidang perkapalan dan kelautan. Institut Teknologi Indonesia (ITI) di Serpong bersinergi dengan pusat penelitian di Puspitek. Semua ini adalah upaya agar lembaga penelitian serta perguruan tinggi sebagai mitra usaha untuk mempercepat difusi kemajuan teknologi serta kemampuan inovasi.
Dalam bidang pembangunan wilayah, B.J. Habibie ditugaskan mengenai Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (Opdib Batam), sejak 1978. Ketika diserahkan pemerintah untuk dikembangkan, Pulau Batam masih berupa daerah gersang dan berdebu tanpa sarana bangunan. Tidak ada investor yang ingin meliriknya. Sembilan belas tahun kemudian, akhirnya pulau Batam menjelma menjadi kawasan industri seperti yang ditinggalkan B.J. Habibie pada 1997.
Setelah menyelesaikan tugas sebagai Presiden Republik Indonesia ke-3, karena tidak ingin dicalonkan untuk mengikuti pemilihan presiden berikutnya dan selama 17 bulan masa kerjanya yang menggulirkan reformasi, B.J. Habibie kembali menjadi warga negara biasa. Ironisnya, semua tugas yang telah diembannya untuk negara dan hasil karya dalam bidang teknologi yang telah dirintis dan dipersembahkan kepada Tanah Air, seolah habis tersapu angin. IMF yang datang sebagai “penyelamat” Indonesia karena tertimpa krisis multidimensi pada 1998, melalui Letter of Intend, melarang dikucurkannya dana untuk industri dirgantara IPTN yang 100 persen milik negara. IPTN yang sedang dalam proses program progrissive manufacturing plan antara lain dengan pesawat N-250 serta program lainnya terhenti. Konsekuensinya jumlah karyawan terlatih harus dirumahkan. IMF yang sarat dengan kepentingan Negara Industri Maju, turut campur dan masuk ke urusan mikro –ekonomi Indonesia.
Hal yang menarik lainnya dan jika kita jujur melihat kilas balik sejarah. Lebih dari dua dekade, perjuangan B.J. Habibie di Tanah Air memacu pengembangan teknologi, dengan strategi memberikan nilai tambah SDM Indonesia, peningkatan daya saing bangsa, kenyataannya saling menghadapi kendala, yaitu UU Industri Strategis. Selama itu pula, kebijakan kabinet selalu tersegmentasi antara otoritas moneter dan teknolog. Program pengembangan teknologi seperti yang digagas oleh B.J. Habibie tidak berjalan mulus. Walaupun B.J. Habibie selalu “Berbas-basi” selalu ada yang berfungsi sebagai “gas” dan ada yang berfungsi sebagai “rem”. Tetapi benarkah hal itu karena pertimbangan objektif atau hanya sekedar dogma efisiensi atau karena sumber keuangan negara “perlu memproritaskan yang lebih urgent?” Benarkah efisiensi harus di depan daripada usaha menjadikan bangsa ini memiliki daya saing? Ketika putra-putri bangsa Indonesia berjuang memperoleh nilai tambah, bekerja dalam penguasaan teknologi tinggi untuk sederajat dengan bangsa lain, B.J. Habibie selalu dikritik karena dana yang diperlukan dianggap besar, khususnya investasi pada setiap proyek industri strategis. Tetapi hal itu ditangkalnya, dengan argumen bahwa dana tersebut diperlukan untuk investasi sumber daya manusia yang belum kita miliki. Memang kita memerlukan sumber daya manusia yang tidak sedikit sebagai investasi, karena “membangun sebuah bangsa” memang tidak seperti mendirikan bank. Jika bank didirikan, hari berikutnya bank bisa langsung memberikan keuntungan.
Bagaimana dengan pengucuran dan kebocoran uang negara pada pihak perseorangan yang tidak berhak, bahkan berlipat ganda dari mata uang yang diperlukan untuk memberi nilai tambah dan daya saing pada anak-anak bangsa kita sendiri, mulai dari kasus Edy Tansil sampai Bank Century. Tetapi apakah ganjalan yang dialami B.J. Habibie untuk melaksanakan program pengembangan teknologi salama itu, memang karena pertimbangan objektif? Atau, mungkinkah kendala yang selama ini dialami usaha pengembangan teknologi, hanya sikap pribadi dan konflik kepentingan oleh mereka yang berada di otoritas moneter? Tidak pernah ada yang terjawab.
Setelah melewati dekade demi dekade, momentum pun telah berlalu mengikuti perjalanan waktu yang linier. Momentum yang hilang tidak akan kembali lagi. Kiranya benar, kelemahan kita sebagai bangsa, karena elite bangsa sangat segmentaris. Terkotak-kotak dalam berbagai kepentingan. Karena itu, jangan bertanya, mengapa kita selalu ketinggalan dari bangsa lain. Mengapa kita tidak pernah bangkit. Dua puluh tahun yang lalu, B.J. Habibie sudah menyampaikan bahwa bangsa ini perlu keterpaduan dan pikiran yang integral. Perlunya melahirkan karya dan inovasi baru untuk memperkuat daya saing bangsa, diperlukan konvergensi pandangan para insinyur dengan pandangan ekonom, para ahli hukum, para akuntan, ahli psikologi, dan seterusnya. Semua harus dipadukan, baik swasta maupun pemerintah, baik yang terorganisasi maupun yang tidak informal, baik yang ilmuwan maupun yang bukan ilmuwan. Hanya dengan bekerja samalah kita bisa mengoptimalkan segenap kemampuan kita dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia serta kapabilitas nasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai faktor penentu menuju dimensi baru kehidupan bangsa Indonesia yang maju, mandiri, berkeadilan serta sejahtera lahir batin. Tetapi ajakan itu hanya menguap. Beberapa waktu lalu, barulah pemerintah membentuk Komisi Inovasi Nasional (KIN), tujuannya meningkatkan inovasi, kurang lebih sama dengan gagasan B.J. Habibie satu dekade lalu.

Tarbiyah Siyasiyah


Judul Buku : Tarbiyah Siyasiyah
Penulis : Ahmad Dzakirin
Penerbit : Era Adicitra Intermedia, Solo
Cetakan Ke : 1
Tahun Terbit : Jumadatas Tsaniyah 1431 H/Juni 2010
Tebal Buku : xxiv + 152 halaman

Ketika dakwah memasuki wilayah politik, tarbiyah siyasiyah mutlak dibuthkan. Bahkan, berangkat dari karakteristik Islam yang syamil, yang mengatur segala bidang kehidupan, tarbiyah siyasiyah pun menjadi keniscayaan. Tarbiyah siyasiyah yang bermakna pendidikan politik sesungguhnya sangatlah luas. Ia bukan saja membahas teori-teori politik, tetapi sampai pada metode pengelolaan negara. Ia bukan saja terbatas pada pengetahuan politik, tetapi juga bagaimana memberdayakan umat untuk bisa berpartisipasi dalam perbaikan pemerintahan atau islahul hukumah. Dalam buku ini, tarbiyah siyasiyah didefinisikan sebagai: "Upaya membangun dan menumbuhkan keyakinan dan nilai dalam rangka membentuk kepribadian politik yang dikehendaki melalui terbentuknya orientasi dan sensivitas politik para anggota sehingga menjadi partisipan politik aktif dalam kehidupan politik keseharian mereka."
Dengan demikian, sasaran yang hendak dicapai melalui tarbiyah siyasiyah adalah menculnya kesadaran politik (wa'yu siyasi), terbentuknya kepribadian politik (dzat siyasiyah), dan munculnya partisipasi politik yang aktif (musyarakah siyasiyah). Pada akhirnya, selain memiliki
pemahaman epistemologis tentang politik dalam Islam dan keyakinan jalan Islam sebagai solusi (al-Islam huwal hallu), umat yang telah mendapatkan tarbiyah siyasiyah juga berafiliasi dalam amal jama'i sebagai upaya mengimplementasikan politik Islam yang telah mereka yakini.
Politik; Antara Islam dan Barat
Hal pertama yang menjadi bahasan dalam buku ini, bahkan sebelum definisi tarbiyah siyasiyah, adalah definisi politik itu sendiri. Agar relevan dengan kondisi sekarang serta bisa diketahui keunggulan politik Islam, maka perlu diperbandingkan politik dalam pandangan Barat dengan politik dalam pandangan Islam. Pandangan politik Barat bisa diketahui akarnya dari pemikiran politik Plato dan Aristoteles. Sehingga pokok-pokok pemikaran politik Barat terformulasikan ke dalam prinsip-prinsip pemisahan politik dengan etika, agama dengan hukum, pembedaan kedudukan antara masyarakat dan negara, kedaulatan politik dan personalitas negara dalam pembuatan hukum. Sedangkan dalam Islam, politik harus bersumber dari agama. Sebagaimana karakter Islam yang syamil, mengatur segala segi kehidupan, maka politik pun harus sejalan dengan syariat. Bahkan definisi politik (baca: siyasah syar'iyah) itu sendiri berarti segala upaya untuk memperhatikan urusan kaum muslimin, dengan jalan menghilangkan kezaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Maka perbedaan pertama antara politik Islam dan politik Barat (sekuler) adalah landasannya. Politik Islam dibangun dari tauhid, sementara politik Barat justru memisahkan politik dari agama. Standart kebenaran dalam politik Islam jelas, yaitu Al-Qur'an dan hadits, sementara standar kebenaran dalam politik Barat bersifat relatif, sesuai dengan kesepakatan rakyat (atau atas nama rakyat).
Perbedaan lainnya adalah sumber kedaulatan, legitimasi kekuasaan, dan aplikasi. Pada politik Islam, sumber kedaulatan adalah Allah SWT. Maka segala hukum dan keputusan politik harus bersumber dari sana. Sedangkan politik Barat menjadikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, tidak peduli apa aturan Tuhan. Dalam politik Islam, legitimasi kekuasaannya adalah manusia dengan nilai, semetara politik Barat minus nilai. Lalu pada tataran aplikasi, politik Islam cenderung stabil karena berpedoman pada nilai-nilai Ilahiyah yang sudah given, sementara politik Barat bersifat spekulatif dan penuh konflik.
Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Islam
Negara dan pemerintahan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Ada enam alasan yang menunjukkan hal itu. Pertama, Al-Qur'an memiliki seperangkat hukum misalnya qishash, maliyah, dan jihad- yang pelaksanaannya membutuhkan negara dan pemerintahan. Kedua, pelaksanaan dan pengawasan aqidah, syariah, dan akhlak yang telah diatur dalam Al-Qur'an membutuhkan intervensi negara. Ketiga, adanya ucapan-ucapan nabi yang dapat menjadi istidlal bahwa negara dan pemerintahan menjadi elemen penting dalam ajaran Islam. Keempat, perbuatan Nabi yang dapat dipandang sebagai bentuk pelaksanaan tugas-tugas negara dan kepemerintahan. Kelima, para sahabat lebih memprioritaskan memilih pemimpin pengganti Nabi daripada mengurus jenazah beliau. Dan keenam, kepemimpinan (imarah) telah menjadi bahan kajian dan pembahasan para ulama dalam kitab mereka sepanjang sejarah. Dalam negara atau pemerintahan Islam, kepemimpinan tertinggi dikenal sebagai khilafah. Terminologi khilafah ini dipakai untuk menjelaskan tugas yang diemban para pemimpin pascakenabian. Kepemimpinan dalam perspektif khilafah –menurut Ahmad Dzakirin- lebih merefleksikan pemahaman terhadap nilai dan prinsip kepemimpinan yang benar menurut Islam ketimbang sebagai sebuah eksistensi
maupun bentuk pemerintahan.
Islam dan Demokrasi
Demokrasi sebagai ide politik modern Barat merupakan hal yang tidak pernah berhenti untuk didiskusikan dalam perpolitikan Islam modern. Ini dikarenakan adanya hal-hal positif dalam demokrasi yang sejalan dengan nilai Islam dan bisa dimanfaatkan oleh Islam alih-alih pilihan-pilihan politik lain yang kemadharatannya jauh lebih besar. Namun demikian, ada banyak kelemahan sistemis dari demokrasi dalam praktiknya di negeri-negeri muslim. Gerakan Islam dewasa ini sepatutnya untuk tidak keberatan dengan praktik demokrasi dan perlu secara tegas menepis kecurigaan dari kalangan sekuler bahwa demokrasi hanya dijadikan alat untuk mencapai kemenangan.
Belajar dari Gerakan Islam Turki
Pada bab terakhir, Ahmad Dzakirin mengajak gerakan Islam di Indonesia untuk belajar dari Gerakan Islam di Turki, khususnya AKP. AKP bisa memenangkan dua pemilu berturut-turut dengan suara mayoritas dan membawa rakyat Turki untuk mempercayai pemerintahan AKP dalam menyelesaikan berbagai problematika yang dihadapi Turki.