Rabu, 24 Agustus 2011

Intelektual Pengabdi Kekuasaan


Hari ini terasa gerakan mahasiswa bergerak sudah minim akan kemurnian idealisme, masing-masing mahasiswa terpecah menjadi golongan-golongan dan berafiliasi dengan berbagai elemen-elemen politik bobrok yang ada di negeri ini.
                Sepenggal kalimat dari paragraf di atas nampaknya tidak asal-asalan karena realitas memang seperti itu, kini ramai menjadi trend dalam dunia gerakan mahasiswa untuk tergabung pada satu entitas kelompok atau golongan tertentu, yang dengan entitas atau golongan itu berafiliasi dengan salah satu partai politik tertentu yang kenyataannya ditunggangi oleh kepentingan politik demi memperebutkan pucuk kekuasaan negeri ini yang secuil. Wajar saja mengapa hal ini marak terjadi pada aktivis mahasiswa, Karena bergabung dengan salah satu entitas atau golongan tertentu yang memiliki tendensi kepentingan politik tertentu agaknya ada secuil jaminan akan harta, tahta, dan wanita atau akan kepastian secercah kesejahteraan pribadi untuk hidup di masa depan. Tapi dengan catatan mereka harus megabdikan diri, pikiran, dan idealisme mereka pada dokrin ketaatan yang dipropagandakan oleh entitas atau golongan yang mereka afiliasikan bahkan mereka sangat patuh terhadap intruksi dari golongan tersebut yang terkadang melebihi kepatuhan terhadap kedua orang tua mereka sendiri. Namun jika tidak tunduk dan patuh, atau jika paling tidak ketika entitas atau golongan tersebut mulai mendekati dan akan hendak merekrut namun kita menolak maka konsekuensinya bersiap-siaplah akan diasingkan, dikucilkan, dan tidak akan pernah bisa menduduki jabatan-jabatan penting dalam organisasi - organisasi kemahasiswaan pada kampus, seperti (BEM, ataupun lembaga legistatif kampus, lembaga dakwah kampus, UKM-UKM, dll).
                Miris agaknya fenomena ini, kampus atau lembaga pendidikan tinggi yang identik akan keluhuran ilmu pengetahuan yang seyogyanya mengedepankan pusat kekuatan moral dalam masyarakat, pemihak pada kebenaran keadilan, dan keagungan budi pengerti. Tapi justru besebrangan dengan kondisi ideal semestinya, kampus mulai tercemari oleh gerakan-gerakan politik kekuasaan, kampus mulai ternodai gerakan moralnya oleh kepentingan-kepentingan politis demi merebut pucuk kekuasaan yang secuil, walaupun banyak nilai-nilai kebenaran dan keadilan terabaikan atau dengan sengaja dipreteli adanya.
Kini marak pula partai-partai politik, gerakan-gerakan ekstra yang mengatasnamakan perjuangan atas seruan agama. Hal ini pulalah yang membuat banyak kaum intelektual kini (baca:mahasiswa) menjadi tunduk, patuh, dan sangat loyal bermental inlander, padahal belum tentu lagi benar adanya apa yang mereka doktrinkan. Malah hal yang sering terlihat pada entitas atau golongan tersebut yang menunggangi gerakan kaum intelektual kini lebih berkonsentrasi pada bagaimana caranya menaruh paham sehebat-hebatnya mengakar di kampus, merekrut kaum-kaum intelektual yang tergoyahkan idealismenya atas doktrin mereka dan menguasai semua jabatan-jabatan penting di kampus, guna mempermudah semua kepentingan mereka. Minim sekali melakukan kegiatan-kegiatan yang berfokus pada keagamaan dan gerakan sosial, seandainya ada paling juga ini dimaksudkan untuk tujuan awal seperti yang dipaparkan di atas. Alih-alih ingin menegakkan syariat atau tuntunan agama secara sepenuhnya, namun realitas yang ada justru sebaliknya. Tak perduli apakah cara dan strategi yang digunakan masih sejalur dengan nilai-nilai idealita kebenaran dan keadilan, yang penting tujuan sempit  mereka merebut pundi-pundi kekuasaan-kekuasaan yang ada dapat terlaksana dan tercapai.
Hingga kini jadilah kampus menjadi pundi-pundi kekuatan politik bobrok yang digunakan untuk merebut dan menduduki pucuk kekuasaan di negeri ini. Sungguh ironis, namun inilah keadaan kaum intelektual kita walaupun tidak semua kaum intelektual yang ada di negeri ini seperti itu, namun sebagian besar lebih kurang mengalami fenomena ini. Kini marak mahasiswa yang terjun aktif di BEM, di organisasi-organisasi kemahasiswaan lainnya untuk memburu kekuasaan, jabatan, kedudukan, dan kepopularitasan diri sehingga setelah meraih tampuk kekuasaan biasanya mereka tidak menganggap amanah sebagai sebuah amanah dan penuh tanggung jawab namun hanya sebagai batu loncatan agar dapat meraih sesuatu yang lebih besar lagi. Kembali kita mengerutkan kening atas realita ini, padahal idealnya fase mahasiswa adalah fase saatnya membangun pondasi idealisme setinggi-tingginya agar menjadi bekal untuk terus dapat berpijak pada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran sampai tua nanti sehingga tercipta pribadi intelektual civil society yang melahirkan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal (seorang negarawan).
Berbagai media cetak, elektronik, dan lainnya sering kita temui penjelasan dan artian makna kata “intelektual”, namun kalau diperhatikan kini mulai pudar kaum intelektual (mahasiswa) yang masih tegak berdiri atas ideologi kebenaran dan kejujuran. Mengutip pernyataan salah satu tokoh “Seorang intelektual adalah seorang yang memiliki pengetahuan umum secara memadai sehingga mampu menangkap fenomena yang tengah berlangsung di tengah masyarakat, bangsa, dan negaranya dan memiliki komitmen untuk membela kepentingan bangsanya serta sanggup menanggung resiko dalam perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran". Dengan demikian seharusnya kaum intelektual dengan pondasi idealismenya memegang peran menentukan dalam setiap perubahan sosial, bahkan revolusi, yang terjadi di negara mereka selama mereka masih berpijak pada nila-nilai kebenaran, keadilan, dan kejujuran.
Apa yang kini terjadi dihadapan kita nampaknya sedikit mirip atau sejarah berulang pada apa yang dialami salah satu mahasiswa FSUI kala itu di era 60-an, “Soe-Hok Gie” namanya. Sampai-sampai perkataannya yang terkenal adalah “lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan” dalam mempertahankan idealismenya ketika gerakan-gerakan entitas atau golongan ekstra kampus yang sarat dengan kepentingan politis kekuasaan hadir menghegemoni kampus, akibatnya gerakan-gerakan tersebut memonopoli politik kampus demi berebut tampuk kepemimpinan agar dapat melanggengkan kepentingan politik kekuasaannya, kampus yang seharusnya dapat menjadi prototipe sistem ketatanegaraan yang ideal demi terwujudnya pembelajaran politik yang bertujuan membentuk civil society yang mumpuni. Tapi yang ada justru sebaliknya, Kembali kini kita berfikir apa yang harus kita lakukan menghadapi gelombang fenomena ini, dan bagaimana menentukan sikap dalam menghadapi realita ini. Rasanya teruslah bersemangat untuk belajar, terus semangat membangun tradisi ilmiah, yang kini tengah mulai pudar dihantam arus matrealistik, hedonistik dan mungkin dengan sering-sering merasakan hidup berdampingan dengan kehidupan orang-orang kecil terpinggirkan agar kita dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemudian jangan mudah percaya dengan siapapun dan beranilah untuk berkata “tidak” walaupun dengan resiko diasingkan dan jauh dari harta, tahta, dan wanita. Jadilah kaum intelektual sejati, yang bergerak atas nilai-nilai nurani, kebenaran, keadilan, idealis, dan tidak ditunggangi kepentingan golongan tertentu. Janganlah takut untuk beridealis dan jangan pula takut untuk diasingkan dan jauh dari kemapanan. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi sebuah pengingatan kita semua khususnya kaum intelektual (baca:mahasiswa) agar terus memupuk nilai-nilai yang sesuai dengan kebenaran dan keadilan, hingga akhirnya kita tidak pernah takut lagi berada pada posisi membela yang benar walau dalam keadaan yang menyakitkan, terasing, dan jauh dari kemapanan.

PTN Mahal , Lalainya Pemerintah, dan Pergerakan Mahasiswa


Menjelang Pertengahan tahun 2011, terasa ada yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya khususnya dalam bingkai organisasi kemahasiswaan yang semakin sepi kader dan semakin lesu.
Pertengahan tahun ini, melalui pemberitaan surat kabar bahwa ternyata serempak kompak hampir semua PTN (Perguruan Tinggi Negeri) menaikkan biaya pendidikannya. Mulai dari PTN yang memang telah memiliki kualitas baik ataupun PTN yang masih berproses menuju kualitas baik.
Kini PTN pun terasa sudah tiada beda yang signifikan jika dibandingkan dengan PTS (Perguruan Tinggi Swasta) apalagi jika ditinjau dari sudut pandang besarnya jumlah biaya pendidikan. PTN kini semakin sulit dijangkau, selain karena untuk dapat diterima menjadi mahasiswa PTN perlu lolos dalam ujian saringan masuk yang sangat ketat namun juga karena faktor mahalnya biaya pendidikan disana sehingga jenjang pendidikan tinggi kini semakin menjauh agaknya menara gading apalagi bagi kalangan menengah ke bawah dan kalangan tak berpunya. Sepertinya hal ini merupakan salah satu hal yang inkonstitusioner, karena sebagaimana yang telah kita ketahui bersama dalam UUD’45 tercatat pada pasal 31, bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara Indonesia. Sepertinya kini pemerintah sudah “salah” ambil kebijakan dengan membuat pendidikan seakan-akan menjadi komoditas dagang atau bisnis, padahal pendidikan seharusnya merupakan hak dasar yang harus terpenuhi sebagai warga negara dan pemerintah berkewajiban penuh terhadap pemenuhan dan penyelenggaraannya.
Dengan membuat pendidikan sebagai bisnis, pemerintah seperti lepas tangan dan mangkir dari kewajibannya untuk memenuhi pendidikan yang bermutu kepada seluruh warga negaranya. Dengan naiknya biaya pendidikan di hampir semua PTN kini si miskin semakin sulit untuk dapat meneruskan keinginannya melanjutkan sekolah hingga tingkat sarjana maupun pascasarjana.Di saat semua negara berlomba-lomba memacu pendidikan dan perkembangan ipteks di negaranya masing-masing namun pemerintah Indonesia justru melakukan hal yang sebaliknya dan disibukkan dengan bagaimana  bisa sebanyak-banyaknya merampok dan merampas kekayaan negara bahkan sampai-sampai pendidikan pun harus menjadi ranah yang diprivatisasi dan dibisniskan. Dapat dipastikan bahwa 20 sampai 25 tahun ke depan Indonesia bersiaplah untuk menjadi salah satu negara terbelakang, miskin, tetap bodoh, dan ada kemungkinan akan terus menerus ditindas.
Mahalnya biaya pendidikan di PTN kini mulai berpengaruh pada mahasiswa, organisasi mahasiswa, dan bahkan pergerakan mahasiswa secara umum. Mahasiswa kini lebih cenderung apatis dengan hanya memikirkan studinya sendiri ketimbang ikut aktif dalam organisasi kemahasiswaan, ataupun ada yang aktif dalam organisasi mahasiswa dengan niatan untuk dapat mendekati dosen sehingga dapat menjadi penunjang bagi akademiknya, atau sekedar agar dapat memenuhi CV agar terlihat menarik karena berisi sejumlah jabatan yang pernah diduduki, atau ingin populer, atau agar dapat lancar meraih beasiswa, atau ditunggangi kepentingan politis. Sedikit kini mahasiswa yang benar-benar aktif dalam organisasi mahasiswa dengan niatan tulus ikhlas ingin membantu orang-orang disekelilingnya, dan benar-benar untuk meregug madu ilmu sebanyak-banyaknya.
Mungkin juga adanya anggapan bahwa dengan kebijakan mahal biaya pendidikan di PTN ini agar dapat mengdivergensi dan memecah pergerakan mahasiswa secara politis agar tidak ada lagi elemen yang mengingatkan pemerintah ketika salah kebijakan dengan demo-demo massa. Karena selama ini gerakan mahasiswa dikenal sebagai gerakan moral intelektual yang jauh dari kepentingan-kepentingan politis kekekuasaan sehingga apa yang disuarakan biasanya adalah benar adanya menunjukkan aspirasi atau jeritan kaum yang tertindas. Dengan mahalnya biaya pendidikan di PTN setidaknya membuat mahasiswa lebih cenderung fokus pada penyelesaian studi masing-masing secepat-cepatnya sehingga tidak bergairah lagi untuk aktif berorganisasi dan mendinamisasi pergerakan mahasiswa sebagai kontrol sosial dan moral secara vertikal maupun horizontal dalam kondisi masyarakat, bangsa, dan negara.

Negeri 1001 Korupsi


“Korupsi lagi, korupsi lagi”, ya begitulah keluh kesah seorang mahasiswa atas kondisi bangsanya yang prestasi dalam bidang korupsi jauh lebih baik atau bahkan amat baik ketimbangan dengan prestasi bangsanya dalam mensejahterakan rakyatnya.
Hampir bosan rasanya karena setiap hari bahkan setiap waktu melihat media massa, elektronik, dan cetak terus menerus dipenuhi berita atau laporan kasus-kasus korupsi. Terheran juga mengapa kasus-kasus korupsi yang ada tidak pernah selesai dan harus dipetimatikan atau kasus-kasus korupsi yang sudah ada belum selesai diusut namun sudah bermunculan kembali kasus-kasus korupsi yang baru. Sepertinya memang ada suatu kompetisi diantara para elit pejabat kita di seluruh lembaga di negeri ini untuk berlomba-lomba dan sebanyak-banyaknya merampas kekayaan negara yang semestinya menjadi amanah mereka untuk mengolanya kemudian disampaikan kepada yang berhak.
Ya Allah, apakah ini sebuah kutukan bagi negeri yang bergelimangan sumber daya alam ini? Mengapa Engkau utus pemimpin-pemimpin yang lebih mementingkan dirinya sendiri beserta golongannya saja ketimbang mementingkan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara yang mereka pimpin? Dan kapan pula derita ini akan berakhir kemudian berganti cerita? Ataukah darah harus tertumpahkan kembali demi mewujudkan Indonesia yang merdeka dari korupsi?
Negeri ini sejatinya bukanlah negeri yang berpenghuni orang-orang bodoh dan terbelakang. Penduduk Indonesia kini telah jauh berbeda dengan zaman kerajaan, penjajahan Belanda, ataupun penjajahan Jepang. Kini penduduk Indonesia telah banyak yang cerdas, lihat saja kita (baca:Indonesia) yang selalu memenangkan olimpiade matematika, fisika, kimia, dan ilmu pasti lainnya. Kita punya banyak orang-orang yang bergelar akademik sangat luhur mulai dari sarjana sampai professor, kita punya banyak generasi muda yang kreatif inovatif dalam berkarya hingga seringkali produk yang mereka hasilkan menjadi idaman orang-orang asing, kemudian kita punya lembaga pendidikan tinggi yang namanya tersohor sampai jauh ke benua lain karena kualitasnya yang baik sehingga banyak orang-orang asing berdatangan ke sini untuk menimba ilmu. Dan terakhir padahal kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang cerdas karena sekolah mereka yang tinggi sampai jauh ke belahan dunia sana serta gelar merekapun rata-rata master hingga professor atau bahkan guru besar.
Tetapi mengapa korupsi seakan menjadi hal yang tidak terpisahkan dari negeri yang bernama Indonesia. Atau mungkin haruskah kita mengubah nama negeri ini dari Indonesia menjadi Nusantara, agar kita terbabas dari derita korupsi berkepanjangan?
Tanda tanya besar memang selalu menjadi jawaban yang layak atas ironi ini, korupsi sesungguhnya tindak kejahatan yang memiliki daya rusak amat sangat dahsyat khususnya untuk memiskinkan negara dan membangkrutkan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyakit korupsi di Indonesia telah menjalar ke seluruh lembaga dan instansi pemerintahan, baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif di negeri ini. Korupsi adalah tindak kejahatan luar biasa yang seharusnya hukumannya pun juga merupakan hukuman luar biasa namun apalah daya, penegakan hukum di Indonesia seperti mendewakan uang sehingga penegakan hukum senantiasa tebang pilih dan jauh dari kesan menegakkan keadilan dan memihak pada kebenaran.
Semestinya kini Indonesia harus sudah mulai memberanikan diri untuk menerapkan sistem hukuman mati bagi para koruptor dan bandit uang rakyat itu, berapapun besarnya dan apapun bentuknya korupsi tetap merupakan hina dan menyengsarakan orang lain, khususnya rakyat kecil, miskin, bodoh, dan tertindas. Koruptor harus dihukum mati dan harus dimiskinkan semua asetnya hingga koruptor tersebut jera dan dapat menjadi pelajaran bagi semua bahwa korupsi merupakan hal yang sangat hina dan merupakan tindakan kontra konstitusi, kontra reformasi, kontra revolusioner, dan kontra amanat cita-cita pendirian bangsa.
Tunggulah saja sampai Allah menurunkan keputusannya terhadap negeri 1001 korupsi ini. Kemanakah nurani dan moralmu wahai elite negeri ini? Bukankah kalian seorang yang mengenyam bangku-bangku pendidikan bahkan lanjut hingga pendidikan tinggi dan superior, kami yakin sejadi-jadinya bahwa kalian adalah orang-orang hebat dalam bidang kalian masing-masing namun mengapa kalian kini terlena dengan kekuasaan dan amanah yang telah dimandatkan kepada kalian? Ingat kami wahai pemimpinku, ingat kami yang mesti kau urus dan kau perhatikan kesejahteraannya bukan kau miskinkan dan kau sengsarakan dengan nafsu pribadi serta golonganmu, ingatlah hidup hanyalah untuk memberi sebanyak-banyaknya bukan menerima sebanyak-banyaknya dan setiap kita pasti akan dimintai pertanggungjawaban kelak di negeri akhirat kelak atau apa yang telah diamanahkan kepada kita dan atas apa yang telah kita perbuat.
Renungkanlah wahai elite negeriku, mereka orang-orang yang miskin dan kecil itu ketika sakit mesti mebaringkan tubuhnya diatas rel kereta api karena tak mampu berobat dan hanya itu yang bisa mereka lakukan karena mereka percaya itu dapat menyembuhkan penyakit mereka ketimbang dokter, renungkanlah mereka balita-balita Indonesia yang nasib masa depan bangsa ini ada pada mereka kini mereka tergulai lemas menderita gizi buruk karena sang ibu tak mampu membeli makan. Dan renungkanlah tiap pemuda-pemudi Indonesia yang hendak lanjut pendidikannya di pendidikan tinggi tapi langkah mereka harus terhenti di depan pintu gerbang kampus karena tak mampu bayar uang kuliah dan uang masuk, padahal merekalah putra-putri terbaik bumi pertiwi ini dengan otak cerdas secepat kilat dalam berpikir melebihi super komputer apapun yang pernah ada di dunia.
Mudah-mudahan sepenggal tulisan ini dapat menyadarkan kau dan Allah restu hidayah datang menyapamu wahai kau elit negeriku sehingga kau lebih bisa berkerja berbuat untuk Indonesia bukan sebaliknya, dan tidak sibuk membalas surat rekan separtaimu yang sedang terjerat kasus korupsi dan takut anak istrinya jadi korban atas kebengisan rezimmu dalam meraup serta mempertahankan harta dan tahta di negeri Indonesia ini.

harman

Mahasiswa Riwayatmu Kini dan Enam Dekade Indonesia Merdeka


Setelah enam puluh enam tahun Indonesia merdeka namun kondisi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia masih jauh dari harapan. Kemiskinan, kebodohan, kesengsaraan, keadilan yang masih jauh panggang dari api, dan masih banyak lagi masalah masalah kebangsaan yang semakin hari semakin bertambah kusut, rumit, dan layaknya bola salju. Lebih miris pula ketika kita melihat realita Indonesia saat ini dengan kaca mata perbandingan besarnya sumber kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah ruah, sungguh kontraproduktif dan dapat dikonklusikan bahwa penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara berbanding terbalik dengan modal atau sumber daya yang ada. Atau mungkin secara lebih radikal penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dikatakan gagal secara kompeherensif.
Berangkat dari wacana ini kami memulai diskusi interaktif kami, sambil memanfaatkan waktu di sela-sela kesibukan berorganisasi dan berkuliah. Beberapa pandangan dari tiap-tiap pemikiran mulai diutarakan ada yang beranggapan banhwa terciptanya penyelenggaraan kehidupan berbangsa yang bobrok seperti ini tidak lain, dan tidak bukan adalah mutlak kesalahan pemimpin-pemimpin negeri ini yang jauh dari cita-cita proklamasi dan jauh dari konsepsi nilai ideal untuk jujur mensejahterakan serta memajukan bangsa. Kemudian banyak pendapat mulai bergulir terkait hal ini, namun diskusi kami tiba-tiba terfokus pada pendapat, kondisi Indonesia seperti ini tidak lepas dari kondisi para pemuda dan lebih khususnya mahasiswa yang kini sudah mulai bergeser semangat, gairah, dan energinya untuk mengisi kemerdekaan Indonesia dengan hal-hal yang prestatif, intelektuil, bermanfaat, dan kontributif. Berganti dengan era hutan rimba dengan iklim persaingan yang ketat dan siapa yang kuat maka dia berjaya, kemudian siapa yang lemah maka dia akan tertindas.
Serentak diskusi mulai bertambah seru dan panas sepertinya memang hal ini menjadi salah satu akar penting penyebab kondisi Indonesia yang jauh dari harapan seperti saat ini, selain faktor pemerintahan, dll. Ternyata setelah diamati dan ditelusuri dari berbagai sumber dan referensi,  mahasiswa di zaman ini memang sudah banyak berubah entah mungkin karena terinfeksi virus budaya barat, atau hal-hal lainnya. Mahasiswa kini lebih senang kongkow-kongkow, pergi ke mall, memikirkan dirinya sendiri, pacaran, pergaulan bebas, pergi ke diskotik, atau mungkin main kartu di pojok-pojok kampus dibandingkan dengan untuk turut aktif berorganisasi, meningkatkan kualitas intelektualnya melalui membaca, menulis, diskusi, meneliti, mengkaji, atau lebih perduli terhadap orang-orang disekitarnya. Mahasiswa mulai jauh dari nilai yang disematkan kepadanya seperti bermoral, berintelektual, atau agen of change. Dan lebih pantas tergantikan dengan pragmatis, hedonis, matrealistis, anarkis, dan vandalis.
Kembali menjadi evaluasi kita bersama sebagai mahasiswa yang notabennya sebagai generasi penerus bangsa yang akan meneruskan proses mengisi kemerdekaan Indonesia menuju Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan cita-cita proklamasi dan pancasila. Mari kita mulai budayakan kembali tradisi membaca, menulis, diskusi, mengkaji, meneliti, aktif berorganisasi atau aktif perduli pada kondisi sekitar dan bergerak berkontribusi sesuai dengan bidang yang kita mampu demi terciptanya kehidupan yang damai, sejahtera, makmur, serta keluarga, masyarakat, dan Indonesia seperti cita-cita tuntunan syariat agama, proklamasi, dan reformasi.

Keadilan Kesehatan Rakyat Indonesia, Riwayatmu Kini


Setelah enam puluh enam tahun Indonesia merdeka dan bebas dari belenggu penjajahan, kini dirasa upaya penegakan keadilan dan amanat para pendiri bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 masih jauh panggang dari api. Mulai dari penegakan keadilan hukum, keadilan pemerataan kesempatan mengenyam bangku pendidikan, keadilan pemerataan kesejahteraan hidup, dan juga tidak kalah urgentnya adalah masalah penegakan keadilan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu.
Seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pada pasal 28H dan UU kesehatan pasal 4 yang menyatakan setiap warga negara Indonesia berhak atas kesehatan dirinya. Kesehatan juga merupakan Hak asasi manusia seperti yang tercantum pada deklarasi universal HAM (1948) BAB 25, (Pasal 25 1), standar hidup yang layak dan jaminan perlindungan kesehatan. Hal ini menegaskan bahwa setiap orang berhak atas hidup yang memadai dalam kesehatan, kesejahteraan diri, dan keluarganya. Kini nikmatnya hidup sehat dan hidup sejahtera di negeri 1001 Gayus ini, sepertinya hanya milik kaum elite dan kaum berpunya saja. Setiap hari atau bahkan setiap saat makin sering kita dengar berita busung lapar, berita mutilasi, berita orang sakit yang terpaksa mati di pinggir-pinggir jalan atau di lorong-lorong gang, karena tak mampunya menjangkau biaya kesehatan atau biaya berobat. Sepertinya kian layak terminologi “kesehatan itu memang nikmat, dan kenikmatan itu tidak layak dimiliki oleh rakyat kecil dan miskin (baca:rakyat proletar)”, atau mungkin “orang miskin dilarang sakit!”
Menurut Yusanto (1995), di Indonesia diperkirakan setiap saat terdapat 15% - 20% penduduk yang sakit dan memerlukan pelayanan dan obat. Dari sekian banyaknya, apabila semua daya dan sarana pelayanan medis dikerahkan, diperkirakan hanya 20 – 30% saja yang dapat dilayani, sementara penduduk lain lebih banyak sekitar 85% yang tidak sakit dan tidak sedang mencari obat, malah tidak mendapat perhatian. Artinya dana yang dianggarkan oleh pemerintah untuk sektor kesehatan tersedot sebagian besar hanya untuk 1 - 2% penduduk, sedang sisanya yang tidak sakit terabaikan, tidak ikut menikmati anggaran yang diperuntukkan bagi kesehatan seluruh penduduk. Sebuah keadaan yang timpang dan jauh dari nilai keadilan.
Sedikit rasanya kini marhaen-marhaen yang hidup di pelosok nusantara, yang hidup di daerah perbatasan dan terpencil tidak dapat tertolong kehidupannya ketika sedang menderita penyakit, kemudian kini sepertinya lebih banyak kasus-kasus prita lainnya di seluruh penjuru tanah air yang tak dapat terkuak pada media massa. Dan kasus bayi-bayi yang tak berdosa tapi sudah harus turut pula menanggung sempitnya himpitan beban hidup karena sang ibu tak mampu memberinya asupan makanan yang bergizi. Ironis rasanya, Indonesia yang terkenal akan terminologi negeri gemah ripah loh jinawi namun bayi-bayinya kini semakin banyak yang terkapar membuncit perutnya dan kerempeng tubuhnya karena menderita gizi buruk. Apa yang salah dengan negeri ini..?
Mungkin Tuhan yang MahaEsa sedang mengutuk negeri gemah ripah loh jinawi dan negeri permai ini, akibat ulah para elitenya yang sibuk bergelimangan harta, sibuk berebut tahta dan kekuasaan, dan sibuk memuaskan nafsu pribadi atau golongannya kemudian melalaikan tanggung jawab dan kewajibannya untuk mengurus hajat hidup rakyatnya serta melalaikan amanahnya untuk mengurus (baca:memajukan, dan mensejahterakan) negeri ini yang telah dipercayakan kepada mereka. Atau mungkin memang kita sebagai rakyat negeri ini yang masih saja tetap bodoh dan inlander sehingga masih terus-menerus berada dalam cengkraman asing dan tetap saja dalam belenggu penjajahan secara mental kemudian tetap miskin, budak, sakit, dan tertindas. Sepertinya dua imajinasi di atas tepat untuk menjawab akan realita kondisi kesejahteraan kesehatan rakyat Indonesia. Indonesia kini tak ada bedanya dengan negeri Ethiopia yang di sana merintih jutaan kepala kala lapar menggila, jutaan manusia menunggu mati dan nyawa tiada lagi berarti.
Kembali menjadi refleksi kita pemuda-pemudi bangsa yang masa depan negeri ini berada pada pundak kita sebagai generasi muda penerus bangsa, akan kondisi kebangsaan yang masih jauh dari ekspektasi dan utopi-utopi para pendiri bangsa serta nilai-nilai ideal dan keadilan, terlebih dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan hajat hidup rakyat Indonesia. Memaknai enam puluh enam tahun kemerdekaan Indonesia, sebagai mahasiswa dan pemuda bangsa tentunya kita menaruh harapan yang besar akan perhatian pemerintah yang seharusnya lebih memprioritaskan bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan hidup karena ketiga hal ini merupakan hak dasar dan indikator keberhasilan suatu kepemerintahan pada suatu negara, selain itu kini marilah sekarang kita azzamkan yang kuat pada diri masing-masing untuk dapat terus bergerak, berkontribusi, dan menjadi bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Berkontribusilah sesukamu, sebisamu, dan semampumu dimana pun kita berada. Lakukanlah apa yang kita bisa lakukan untuk kembali menata taman Indonesia, menuju Indonesia sehat, Indonesia cerdas, dan Indonesia sejahtera.
Bravo keadilan kesehatan rakyat Indonesia
Bangkit Mahasiswa Indonesia                                                                                 
Bangkit Indonesiaku...
                                                                                                            Harman