Sabtu, 30 April 2011

JEJAK PEMIKIRAN B.J. HABIBIE



Peradaban Teknologi untuk Kemandirian Bangsa
Selama dua pulkuh tahun lebih Bacharuddin Jusuf Habibie di rantau, lalu kembali ke tanah air, Setelah belajar dan bekerja di Jerman. Ia diberi kepercayaan serta tugas untuk memimpin beberapa jabatan penting dalam pemerintahan dan sejumlah lembaga lainnya. Jabatan dan tugas penting yang pernah diembannya dalam Kabinet pembangunan adalah portofolio Kementrian Negara Riset dan Teknologi merangkap Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, sejumlah industri strategis, Otorita pengembangan Daerah industri pulau Batam, dan beberapa lembaga lainnya. Selama itu pula, berbagai pemikiran gagasan dikeluarkannya. Bahkan tidak hanya terbatas pada pemikiran dan gagasan, tetapi ia juga memberikan bukti nyata bahwa pemikiran dan gagasan itu, tidak hanya terhenti pada ucapan dan pidato, tetapi dapat menjadi kenyataan yang dapat menyelesaikan persoalan bangsa.
Pada 1978, terjadilah perubahan mendasar pada kegiatan penelitian di Indonesia ketika B.J. Habibie dilantik menjadi Mentri Negara Riset dan Teknologi/Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Sejak itu pula, kegiatan penelitian lebih terfokus untuk menghasilkan teknologi yang diterapkan bagi keperluan pembangunan. Akronim Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), mulai populer yang beberapa tahun kemudian disebarluaskan sehingga tercapai kesepakatan nasional (1993) untuk menjadikan Iptek sebagai salah satu asas pembangunan.
Kemudian, muncul gagasan B.J. Habibie mengenai konsep transformasi industri nasional. Gagasan itu pertama kali disampaikan pada sebuah ceramah umum di Bandung, tetapi secara resmi dipublikasikan pada 14 Juni 1983 di Bonn pada ceramah yang judulnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: “Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri suatu Negara sedang Berkembang”.
Pemikiran dan gagasannya tentang transformasi industri misalnya, lahir ketika ia melihat kemampuan dan kesiapan sumber daya manusia yang tersedia, sarana dan prasarana teknologi yang ada pada saat itu masih minim. Ia juga melihat adanya kendala waktu dan ketertinggalan serta keterbelakangan teknologi bangsa kita dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang telah berkembang lainnya. Dunia penelitian sangat terbatas, peneliti sangat kurang, dana penelitian sangat kecil bahkan hampir tidak ada artinya. Adapun konsep transformasi industri tersebut adalah “Mula dari Akhir dan Berakhir di Awal”. Proses ini merupakan kebalikan dari proses klasik yang selama ini dikenal, tetapi pengembangan unsur-unsur teknologi yang terkait termasuk pengembangan sumber daya manusia dilaksanakan dengan proses normal maju ke depan, dari tingkat dasar hingga tingkat yang paling tinggi. Dengan empat tahap transformasi teknologi yang diterapkan oleh B.J. Habibie, terlihat jelas bahwa konsep ini merupakan cara yang efisien, realistik, dan sistematik di dalam alih dan difusi teknologi industri untuk mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia di bidang Iptek dari bangsa-bangsa yang telah maju lainnya.
Pengembangan unsur-unsur teknologi yang terkandung di dalam penahapan ini dilakukan secara evolutif, tetapi mengalami percepatan proses karena dilaksanakan dalam rangka penerapan transformasi teknologi yang “Mulai dari Akhir dan Berakhir di Awal” ini. Oleh B.J. Habibie, unsur-unsur yang terkandung disetiap tahapan transformasi ini disebut satuan mikro evolutif yang dipercepat atau Micro Accelerated Evolution Unit disingkat MAEU. B.J. Habibie biasa mengatakan, kita tidak bisa membuat sebuah penemuan ulang sesuatu teknologi yang sudah lama ditemukan bangsa lain. Karena kita akan tertinggal. Negara industri maju sudah lama menemukan dan menggeluti teknologi canggih.
Untuk melaksanakan program transformasi ini, diperlukan wahana atau kendaraan untuk mencapai tujuan. Dari sekian wahana, digunakan antara lain wahana industri dirgantara, industri maritim dan perkapalan, serta wahana industri strategis lainnya. Di industri dirgantara, setelah melalui penahapan awal teknologi yang sudah ada (memakai lisensi), maka tahap integrasi teknologi, lahirlah N-235. Kemudian pada tahap pengembangan teknologi, lahirlah N-250. Di industri perkapalan, lahirlah cakara Jaya, Palwo Buwono. Demikian pula di beberapa industri strategis lainnya. Produk-produk itu, akan membuka lapangan kerja yang juga berarti membantu meningkatkan kualitas SDM bangsa Indonesia yang produktif. Memperbesar penyerapan pasar domestik dengan menggunakan produk dalam negeri berarti memberikan kontribusi terhadap proses nilai tambah, kesejahteraan dan keunggulan bangsanya sendiri. Kenyataan semacam ini sangat disadari oleh masyarakat Jepang, bahkan negara industri maju lainnya. Mereka sangat mencintai produk bangsanya sendiri dan sulit dipaksa untuk membeli produk luar negeri sehingga neraca perdagangan mereka dengan negara lain selalu positif.
Sangat relevan dengan strategi ini, khususnya pada tahap terakhir untuk melakukan penelitian dasar, lahirlah Pusat Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) di Serpong, sebagai sarana untuk melakukan penelitian dasar melalui berbagai jenis laboratorium yang dipercayakan kepada Lembaga Pemerintah Non-Departemen Dalam Lingkup Ristek. Dengan berbagai laboratorium Iptek yang dimiliki, Puspitek diharapkan dapat melaksanakan berbagai riset lapangan (ground research) serta berperan sebagai sinergi bagi kegiatan riset dan pengembangan Iptek.
Dalam kebijakan makroriset dan teknologi, dibuat “Matriks Nasional Riset dan Teknologi”, untuk memusatkan perhatian masyarakat ilmiah dan masyarakat umum pada tujuan yang harus diemban oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan dikembangkan di Indonesia.
Untuk melengkapinya, dibentuk Dewan riset Nasional (DRN) yang merupakan wadah koordinasi non strukutural, yang mempersiapkan perumusan program ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Mentri Negara Riset dan Teknologi.
Disusul lahirnya Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang merupakan salah satu tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya masyarakat ilmiah di Indonesia bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mendapat perhatian sangat besar dalam rangka pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.
Pada 1993, untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka pada GBHN 1993 di masa kabinet Pembangunan, disepakati secara nasional, bahwa pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), selain sebagai bidang pembangunan tersendiri yang harus dimanfaatkan, dikembangkan, dan dikuasai, juga sebagai salah satu asas pembangunan.
Adakah gagasan dan strategi transformasi teknologi yang tel;ah dikembangkan oleh B.J. Habibie lebih satu dekade yang lalu telah bergesr dengan strategi pengembangan Iptek yang ideal di Indonesia sekarang ini? Khususnya dalam wacana yang sering muncul mengenai kebijakan Inovasi Teknologi untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi?
Telah disadari diperlukannya mitra segi tiga antara dunia usaha, pemerintah, dan perguruan tinggi untuk mempercepat difusi kemajuan teknologi serta kemampuan inovasi. Sebenarnya, hal ini sudah lama menjadi gagasan B. J. Habibie, seperti yang kita temui dalam buku ini. Bahkan, kemitraan ketiga komponan bangsa terssebut sudah dilaksanakan.
Puspitek misalnya sudah didirikan untuk melakukan riset lapangan, bersinergi dengan kegiatan pengembangan Iptek pihak swasta. Gagasan Link & Match adalah usaha untuk menciptaka sinergi antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan praktis dunia industri. Sementara industri strategis didirikan di kota yang memiliki perguruan tinggi yang unggul dengan industri yang dikembangkan. Demikianlah IPTN bersinergi dengan ITB Bandung dalam teknologi dirgantara, PT PAL di Surabaya bersinergi dengan ITS Surabaya dalam bidang perkapalan dan kelautan. Institut Teknologi Indonesia (ITI) di Serpong bersinergi dengan pusat penelitian di Puspitek. Semua ini adalah upaya agar lembaga penelitian serta perguruan tinggi sebagai mitra usaha untuk mempercepat difusi kemajuan teknologi serta kemampuan inovasi.
Dalam bidang pembangunan wilayah, B.J. Habibie ditugaskan mengenai Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (Opdib Batam), sejak 1978. Ketika diserahkan pemerintah untuk dikembangkan, Pulau Batam masih berupa daerah gersang dan berdebu tanpa sarana bangunan. Tidak ada investor yang ingin meliriknya. Sembilan belas tahun kemudian, akhirnya pulau Batam menjelma menjadi kawasan industri seperti yang ditinggalkan B.J. Habibie pada 1997.
Setelah menyelesaikan tugas sebagai Presiden Republik Indonesia ke-3, karena tidak ingin dicalonkan untuk mengikuti pemilihan presiden berikutnya dan selama 17 bulan masa kerjanya yang menggulirkan reformasi, B.J. Habibie kembali menjadi warga negara biasa. Ironisnya, semua tugas yang telah diembannya untuk negara dan hasil karya dalam bidang teknologi yang telah dirintis dan dipersembahkan kepada Tanah Air, seolah habis tersapu angin. IMF yang datang sebagai “penyelamat” Indonesia karena tertimpa krisis multidimensi pada 1998, melalui Letter of Intend, melarang dikucurkannya dana untuk industri dirgantara IPTN yang 100 persen milik negara. IPTN yang sedang dalam proses program progrissive manufacturing plan antara lain dengan pesawat N-250 serta program lainnya terhenti. Konsekuensinya jumlah karyawan terlatih harus dirumahkan. IMF yang sarat dengan kepentingan Negara Industri Maju, turut campur dan masuk ke urusan mikro –ekonomi Indonesia.
Hal yang menarik lainnya dan jika kita jujur melihat kilas balik sejarah. Lebih dari dua dekade, perjuangan B.J. Habibie di Tanah Air memacu pengembangan teknologi, dengan strategi memberikan nilai tambah SDM Indonesia, peningkatan daya saing bangsa, kenyataannya saling menghadapi kendala, yaitu UU Industri Strategis. Selama itu pula, kebijakan kabinet selalu tersegmentasi antara otoritas moneter dan teknolog. Program pengembangan teknologi seperti yang digagas oleh B.J. Habibie tidak berjalan mulus. Walaupun B.J. Habibie selalu “Berbas-basi” selalu ada yang berfungsi sebagai “gas” dan ada yang berfungsi sebagai “rem”. Tetapi benarkah hal itu karena pertimbangan objektif atau hanya sekedar dogma efisiensi atau karena sumber keuangan negara “perlu memproritaskan yang lebih urgent?” Benarkah efisiensi harus di depan daripada usaha menjadikan bangsa ini memiliki daya saing? Ketika putra-putri bangsa Indonesia berjuang memperoleh nilai tambah, bekerja dalam penguasaan teknologi tinggi untuk sederajat dengan bangsa lain, B.J. Habibie selalu dikritik karena dana yang diperlukan dianggap besar, khususnya investasi pada setiap proyek industri strategis. Tetapi hal itu ditangkalnya, dengan argumen bahwa dana tersebut diperlukan untuk investasi sumber daya manusia yang belum kita miliki. Memang kita memerlukan sumber daya manusia yang tidak sedikit sebagai investasi, karena “membangun sebuah bangsa” memang tidak seperti mendirikan bank. Jika bank didirikan, hari berikutnya bank bisa langsung memberikan keuntungan.
Bagaimana dengan pengucuran dan kebocoran uang negara pada pihak perseorangan yang tidak berhak, bahkan berlipat ganda dari mata uang yang diperlukan untuk memberi nilai tambah dan daya saing pada anak-anak bangsa kita sendiri, mulai dari kasus Edy Tansil sampai Bank Century. Tetapi apakah ganjalan yang dialami B.J. Habibie untuk melaksanakan program pengembangan teknologi salama itu, memang karena pertimbangan objektif? Atau, mungkinkah kendala yang selama ini dialami usaha pengembangan teknologi, hanya sikap pribadi dan konflik kepentingan oleh mereka yang berada di otoritas moneter? Tidak pernah ada yang terjawab.
Setelah melewati dekade demi dekade, momentum pun telah berlalu mengikuti perjalanan waktu yang linier. Momentum yang hilang tidak akan kembali lagi. Kiranya benar, kelemahan kita sebagai bangsa, karena elite bangsa sangat segmentaris. Terkotak-kotak dalam berbagai kepentingan. Karena itu, jangan bertanya, mengapa kita selalu ketinggalan dari bangsa lain. Mengapa kita tidak pernah bangkit. Dua puluh tahun yang lalu, B.J. Habibie sudah menyampaikan bahwa bangsa ini perlu keterpaduan dan pikiran yang integral. Perlunya melahirkan karya dan inovasi baru untuk memperkuat daya saing bangsa, diperlukan konvergensi pandangan para insinyur dengan pandangan ekonom, para ahli hukum, para akuntan, ahli psikologi, dan seterusnya. Semua harus dipadukan, baik swasta maupun pemerintah, baik yang terorganisasi maupun yang tidak informal, baik yang ilmuwan maupun yang bukan ilmuwan. Hanya dengan bekerja samalah kita bisa mengoptimalkan segenap kemampuan kita dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia serta kapabilitas nasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai faktor penentu menuju dimensi baru kehidupan bangsa Indonesia yang maju, mandiri, berkeadilan serta sejahtera lahir batin. Tetapi ajakan itu hanya menguap. Beberapa waktu lalu, barulah pemerintah membentuk Komisi Inovasi Nasional (KIN), tujuannya meningkatkan inovasi, kurang lebih sama dengan gagasan B.J. Habibie satu dekade lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar