"Partai politik yang
terlampau banyak makan dari anggaran rakyat, harus diingatkan dengan Surah
Al-Ma'un agar berhati-hati, jangan menjadi pendusta agama!"
courtesy of
immugm.web.id
KH Ahmad Dahlan pernah mengajarkan sebuah surah dalam
Al-Qur'an secara berulang-ulang. Di setiap forum pengajian, beliau tak
bosan-bosan mengulang ayat tersebut untuk dibahas, dikaji bersama
murid-muridnya. Salah satu di antara murid beliau itu adalah KH Syuja', yang
kemudian kita kenal sebagai salah satu pimpinan teras Muhammadiyah pasca-KH.
Ahmad Dahlan. Sudah beberapa pertemuan membahas surah pendek di penghujung
Al-Qur'an itu.
Karena dilanda rasa penasaran, KH Syuja' mencoba untuk
bertanya, mengapa Kyai Dahlan terus-menerus, secara berulang-ulang, membahas
ayat itu. Tetapi KH Ahmad Dahlan bertanya balik: "Sudahkah ayat tersebut
diamalkan?"
***
Jika ada ayat yang menjadi landasan bagi
gerakan-gerakan sosial dalam Islam, itulah Al-Ma'un. Surah ini pendek, ayatnya
tidak banyak, hanya sekitar tujuh ayat. Tapi maknanya yang menggetarkan dada,
tidak sekadar menjadi bacaan di kala shalat fardhu, melainkan juga
memberikan inspirasi-inspirasi untuk melahirkan sebuah kesadaran kolektif:
kesadaran atas realitas sosial yang timpang.
Al-Maun dibuka dengan sebuah pertanyaan -lebih
tepatnya sindiran: Tahukah engkau dengan para pendusta agama? Frase yang
digunakan oleh Al-Qur'an terasa sangat menohok: "pendusta agama".
Kita tentu akan penasaran: siapakah mereka yang dihardik oleh Al-Qur'an dengan
ungkapan "pendusta agama" itu?
Ayat kedua dan ketiga memberikan penjelasan. Pertama, orang yang menghardik
anak yatim (ayat 2).Kedua, menolak
memberi makan orang miskin (ayat 3).
Buya Hamka memberi tafsir atas ayat ini dengan kata
"menolakkan". Di dalam ayat kedua tertulisyadu'-'u (dengan tasydid),
artinya yang asal ialah menolak. Kata tersebut ditafsirkan orang lain dengan
"menghardik" atau sejenisnya, tetapi kata Hamka yang lebih tepat
adalah "menolakkan". Kata "menolak" itu bermakna
membayangkan kebencian yang sangat.
Artinya, jika seseorang merasa benci dengan anak yatim
karena keyatimannya, berarti ia mendustakan agama. Sebabnya ialah rasa sombong
dan rasa bakhil, menurut Hamka. Membenci anak yatim berarti membenci
keber-asal-an Nabi Muhammad. Sebab, Nabi adalah anak yatim, yang dipinggirkan
oleh keluarganya, hidup dengan menggembala, berkutat dengan kemiskinan di masa
kecilnya.
Islam adalah agama yang sangat menghargai kesetaraan;
egaliterisme. Islam menolak stratifikasi sosial-ekonomis; yang berarti
meminggirkan orang miskin dan anak yatim dalam sistem sosial yang bertingkat.
Anak yatim adalah mereka yang malang; tak mampu mengelak dari takdir bahwa
kasih-sayang yang ia terima akan jauh, disebabkan oleh ayah dan ibu mereka yang
telah tiada. Atau, tidak memberi porsi perhatian kasih-sayang pada kita.
Menghardik anak yatim adalah refleksi
kesombongan-diri. Merasa diri lebih baik. Dan Allah menolak kesombongan. Oleh
sebab itu, mereka yang sombong dan bakhil -seperti kata Hamka- dengan
menghardik anak yatim sebagai simbolisasi, patut diucap sebagai "pendusta
agama".
Ayat selanjutnya menjelaskan mengenai "menolak
memberi makan orang miskin". Ini juga penting sebab mengindikasikan adanya
distribusi kekayaan di antara umat Islam. Mereka yang menolak menyalurkan
kekayaannya untuk orang miskin termasuk yang mendustakan agama. Karena
dia mengaku menyembah Tuhan,padahal hamba Tuhan tidak diberinya pertolongan dan
tidak dipedulikannya.
Benar. Implikasi dari tauhid adalah menegakkan
keadilan di segala bidang. Al-Ma'un bicara soal ekonomi. Mereka yang menolak
memberi makan orang miskin, padahal ia memiliki harta-benda yang bisa
meringankan penderitaan orang miskin. Mereka yang kemudian menolak
mendistribusikan kekayaannya dengan tidak mau memberi makan orang miskin,
berarti menolak visi keadilan yang Islam tawarkan.
Az-Zamakhsyari menulis dalam tafsimya, mengapa orang
yang menolak memberi makan orang miskin dan menolak anak yatim dikatakan
mendustakan agama. Kata beliau: "Orang ini nyata mendustakan
agama. Karena dalam sikap dan laku perangainya dia
mempertunjukkan bahwa dia tidak percaya inti agama yang sejati, yaitu bahwa
orang yang menolongsesamanya yang lemah akan diberi pahala dan ganjaran mulia
oleh Allah. Sebab itu dia tidak mau berbuat ma'ruf dan sampai hati menyakiti orang
yang lemah".
Menolak memberi makan orang miskin adalah cermin dari
mereka yang zalim, menindas orang lain. Al-Qur'an sendiri melarang kezaliman,
melarang penindasan manusia atas manusia. Jelas, pesan dari ayat ini adalah
menentang penindasan dengan perbuatan menolak memberi makan orang miskin,
menghalangi haknya untuk tetap hidup dan mendapatkan makanan yang layak.
Dan ini menunjukkan pula bahwa Islam adalah bervisi
kemanusiaan. Dan visi kemanusiaan ini harus diterjemahkan ke dalam amal nyata.
Dengan memberi makan orang miskin yang memerlukan, dan mengutamakan sifat
individualis, berarti seseorang telah melanggar visi kemanusiaan. Ialah
"pendusta agama". Agama bukan hanya bersifat vertikal, terkungkung
dan terpenjara di mesjid. Agama ialah kemanusiaan yang membebaskan dan
mencerahkan.
Itulah potret-potret pendusta agama. Ayat berikutnya,
dengan lebih lantang, mengatakan pada kita: Maka celakalah orang-orang yang
salat! Bagaimana mungkin, pengabdian transendental seorang muslim, melalui
shalatnya kepada Allah, disebut sebagai perbuatan yang tidak hanya sia-sia,
tapi juga mencelakakan?
Ada tiga parameter celakanya (wail) orang-orang yang shalat (ayat 4-7). Pertama, mereka yang lalai dalam
shalatnya (ayat 5). Kedua, mereka
yang berbuat riya' (ayat 6). Ketiga, mereka
yang menolak memberi pertolongan.
Buya Hamka menafsirkan bahwa "lalai" berarti
shalat tanpa diikuti oleh kesadaran sebagai hamba Allah. Kata Buya Hamka:
"Saahuun;
asal arti katanya ialah lupa. Artinya dilupakannya apa maksud sembahyang itu,
tidak didasarkan atas pengabdian kepada Allah, walau ia mengerjakan ibadah.
Ibadah tanpa kesadaran, adalah sebuah kelalaian, begitu tafsir Buya Hamka.
Kesadaran penting, manakala kita melakukan purifikasi atas niat beribadah itu.
Mereka yang berbuat riya' berarti menodakan niat
ikhlasnya pada sesuatu yang bukan pada Allah; menisbatkan sesuatu yang
seharusnya dipersembahkan pada Allah -shalat, ibadah- justru kepada benda
ciptaan Allah. Shalat dalam kerangka ini hanya membawa kecelakaan. Kata Buya
Hamka, kadang-kadang dia menganjurkan memberi makan fakir miskin, kadang-kadang
kelihatan dia khusyu' sembahyang; tetapi semuanya itu dikerjakannya karena
ingin dilihat, dijadikan reklame. Dalam bahasa yang lebih moderen, shalat hanya
dijadikan citra; untuk kekuasaan, untuk amal keduniaan.
Menolak memberi pertolongan adalah bentuk kezaliman
yang lain lagi. Orang-orang yang mendustakan agama selalu mengelakkan dari
menolong. Sebab, kata Buya Hamka, tidak ada rasa cinta di dalam hatinya. Yang
ada ialah rasa benci! Memberi pertolongan adalah wujud kemanusiaan. Dan menolak
memberi pertolongan, membiarkan orang lain dalam kesusahan, melawan hakikat
kemanusiaan.
Riya', kata Buya Hamka, adalah simbol kebohongan dan
kepalsuan, sementara menolak memberi bantuan adalah simbol individualisme dan
kezaliman. Dua-duanya, adalah refleksi pendusta-pendusta agama. Sehingga, wajar
jika Sayyid Quthb dalam tafsirnya menyebut bahwa Al-Ma'un memperlambangkan
pertemuan dimensi sosial dan ritual agama. Ini menunjukkan bahwa agama pada
hakikatnya bersifat transformatif, mewujud ke seluruh sel-sel kehidupan nyata.
*****
Surah Al-Ma'un memberikan pesan yang mendalam bagi
kita untuk tidak melupakan realitas kemanusiaan, tidak melupakan orang-orang
miskin, anak-anak yatim, mereka yang perlu pertolongan, mereka yang
terpinggirkan. Untuk itulah KH Ahmad Dahlan memberikan pertanyaan yang sangat
reflektif: sudahkah ayat ini diamalkan?
Mengamalkan surah Al-Ma'un bukan berarti hanya membaca
ayat ini berulang-ulang, di shalat-shalat fardhu, ketika sedang ber-tadarrus Al-Qur'an.
Perilaku ini sesungguhnya disindir tajam oleh KH Ahmad Dahlan. Mengamalkan
Al-Ma'un berarti mendudukkan ayat ini dalam praksis tindakan. KH Ahmad Dahlan
mencontohkan dengan memberi makan fakir miskin, membuka sekolah-sekolah bagi
kaum pribumi, mendirikan penolong kesengsaraan umum (PKU).
Dengan ayat ini, Islam menjadi hidup tidak hanya pada
tataran ritual, tetapi juga pada tataran sosial. Islam menjadi bersifat
dinamis, transformatif. Ia bukan hanya prasasti yang hanya berisikan
tulisan-tulisan yang hanya dibaca oleh orang-seorang, tetapi juga hidup sebagai
etika sosial.
Seperti kata Nabi, "ad-diinu nashihah". Agama adalah
nasehat! Al-Ma'un memberi sebuah penyemangat untuk terus mendudukkan Islam
dalam posisinya yang dinamis, di aras intelektual-sosial-kritis. Teologi Kritis
Al-Ma'un ingin menghidupkan kembali semangat agama yang membebaskan dan
mencerahkan, dalam realitas sosial secara nyata.
Hidupnya Islam dalam tataran sosial ini yang
mencerminkan modernisasi Islam sebagaimana dipraktikkan oleh Muhammadiyah. Di
awal kelahirannya, Islam dilanda kejumudan, gersang akan ijtihad dan dobrakan
amal sosial. Syekh Muhammad Abduh sampai mengatakan, "Al-Islam mahjuubun bil muslimin". Islam itu
tertutup oleh kaum muslimin itu sendiri.
Gersangnya intelektualisme Islam itu membuat beberapa
orang di tanah air yang baru pulang menuntut ilmu di terpanggil untuk
membenahi keadaan. Di antara kaum muda muslim tersebut ialah Muhammad Darwisy,
putera KH Abubakar, khatib di Mesjid Kauman Yogyakarta yang menuntut ilmu di
Mekkah. Di sana ia bersentuhan dengan pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahhab dan
Muhammad Abduh, serta banyak belajar dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau,
seorang ulama bermazhab Syafi'i yang menjadi imam di Mesjidil Haram.
Sekembalinya beliau ke tanah air, kenyataan tak
seperti yang beliau idealkan di tempat belajar. Takhayul, Bid'ah, dan Churafat
merajalela. Struktur sosial menempatkan kaum pribumi di level terbawah.
Kemiskinan di mana-mana. KH Ahmad Dahlan terdorong untuk melakukan gebrakan.
Bagaimana caranya? Ia kemudian menjawabnya dengan surah Al-Ma'un di atas.
Dan teologi Al-Ma'un menginspirasi perkembangan sebuah
gerakan sosial Islam waktu itu. Muhammadiyah tidak hanya menjelma menjadi
sebuah gerakan keagamaan yang bervisi dakwah amar ma'ruf nahyi munkar, tetapi juga gerakan
sosial yang bervisi kemanusiaan. Perpaduan antara gerakan Islam dan gerakan
sosial inilah yang menjadi ciri khas gerakan modern Islam abad itu.
Al-Ma'un menjadi panduan praksis gerakan sosial Islam.
Sebuah ayat yang menyindir para kapitalis, yang hanya mementingkan diri untuk
kapital semata. Das ding an sich, kalau
mengutip Nietzsche. Ayat ini sesungguhnya melakukan kritik tajam atas
kapitalisme yang menindas para pekerja, tanpa memedulikan kemiskinan di
sekitarnya.
Jauh sebelum Marx melakukan kritik-kritik tajam atas
kapitalisme industrial yang menindas, Al-Qur'an sudah berbicara: Jika engkau
ingin menindas orang lain, dalam praktik-praktik akumulasi modal dan motif
ekonomi, sesungguhnya: engkau adalah pendusta agama! Sebuah kritik tajam kepada
pemodal yang tak memedulikan lingkungan sosialnya.
Jika kita geser ke ranah ontologis, maka Al-Ma'un
adalah inspirasi intelektual yang kritis-emansipatoris. Menjadi intelektual
Al-Ma'un berarti menjadi intelektual yang memiliki keberpihakan kepada kaum
tertindas, bukan menjadi mereka yang hanya melegitimasi sistem korup. Inilah
potret intelektual profetik, intelektual yang punya keberpihakan terhadap anak
yatim, orang-orang miskin, dan mereka yang terpinggirkan dengan alat baca
sosial yang kritis.
Semangat intelektualisme dalam bingkai teologi
Al-Ma'un dapat kita baca dalam kerangka berpikir Prof. Kuntowijoyo: bahwa Ilmu
sosial tidak berhenti hanya pada upaya menjelaskan fenomena sosial. Ilmu Sosial
profetik, Ilmu Sosial Al-Ma'un, berarti juga setidaknya memiliki dimensi
kritis, mampu meletakkan diri dengan keberpihakan kepada mereka yang
terpinggirkan oleh struktur sosial-politik, serta membongkar realitas secara
menyeluruh.
Tujuannya adalah untuk menegaskan pilar kemanusiaan
yang diemban, untuk membawa manusia darizhulumaat (kegelapan) menuju nuur (cahaya). Inilah
semangat intelektual Al-Ma'un: intelektual yang membawa visi pembebasan kaum
miskin dan kesetaraan sosial.
Dengan demikian, jika kita kontekstualisasikan
semangat Al-Ma'un dalam kerangka ilmu sosial, kita perlu menumbuhkan jiwa-jiwa
kritis terhadap realitas sosial. Artinya, kita perlu memaknai kembali
riset-riset sosial yang kita lakukan. Untuk apa riset itu kita lakukan? Apakah
riset sekarang hanya menjadi sebuah "citra" untuk mendapatkan
pengakuan akademis? Ataukah hanya sekadar memenuhi hibah-hibah akademis yang
disajikan di kampus-kampus?
Semoga tidak. Riset sosial, mengacu pada semangat
intelektual Al-Ma'un, adalah jalan untuk mengetahui realitas sosial secara
lebih baik.
*****
Jika dulu KH Ahmad Dahlan mempraksiskan Al-Ma'un
dengan mendirikan rumah sakit untuk kaum pribumi (PKO), sekolah-sekolah rakyat
yang mengimplikasikan kaum pribumi dapat pendidikan yang setara orang Belanda,
atau panti-panti asuhan anak yatim, saat ini mungkin perlu ada perluasan.
Teologi Al-Ma'un juga perlu dimaknai dalam kerangka
struktural, sebab penindasan itu juga bersifat struktural. Neoliberalisme telah
melahirkan kesenjangan antara "yang-kaya" dan
"yang-miskin", hegemoni pasar telah melumpuhkan mereka yang tak
bermodal.
Upaya-upaya pembelaan perlu digalakkan melalui
masyarakat sipil dengan advokasi dan pemberdayaannya. Teologi Al-Ma'un berarti
advokasi; pembelaan atas hak-hak masyarakat yang terlupakan oleh negara.
Muhammadiyah, mengutip Saleh Partaonan Daulay, adalah kekuatan masyarakat
sipil. Peran-peran ini perlu diampu semua elemen, tidak hanya Muhammadiyah,
yang memang independen dari negara, bebas dari relasi-kuasa yang diciptakan
negara.
Dan sebab itu, kritik terhadap negara juga adalah
kemestian. Partai politik yang tidak berpihak pada kaum miskin, yang memonopoli
proyek anggaran untuk kepentingan golongan sendiri, yang bertindak
kontraproduktif dengan iklim pemberantasan korupsi, yang justru melakukan
korupsi di tengah kesusahan bangsa, harus diingatkan dengan Surah Al-Ma'un ini:
hai para politisi korup, janganlah engkau menjadi pendusta-pendusta agama!
Kita hidup di tengah hegemoni partai-partai, yang
bahkan sudah menjamah media-media massa sebagai juru bicaranya. Partai-partai
yang hidup dari anggaran, menjadikan parlemen dan kementerian sebagai bancakan
proyek. Kepada mereka, perlu kita ingatkan dengan Surah Al-Ma'un: jangan
lupakan orang-orang fakir dan miskin agar tidak jadi pendusta agama. Partai
politik yang terlampau banyak makan dari anggaran rakyat, harus diingatkan
dengan Surah Al-Ma'un agar berhati-hati, jangan menjadi pendusta agama!
Dalam konteks gerakan sosial, Al-Ma'un harus terus
direvitalisasi oleh gerakan-gerakan Islam sebagai sebuah fondasi teologis.
Inilah yang membuat agama hidup. Agama secara normatif bukan sekadar ritual
yang mengalienasi manusia dari realitas sosialnya, bukan juga candu bagi
rakyat, melainkan juga semangat juang dan semangat untuk membebaskan dhu'afa dan masakin dari ketertindasan.
Pada 8 Dzulhijjah ini, Muhammadiyah akan memperingati
miladnya yang ke-102. Pertanyaan yang perlu kita refleksikan, sudah sejauh mana
teologi Al-Ma'un ini direvitalisasi kembali?
****
Syahdan, ketika ditanya oleh muridnya, KH Syuja',
mengenai surah Al-Ma'un yang diajarkan secara berulang-ulang itu. KH Ahmad
Dahlan bertanya kembali, “Apakah sudah mengamalkan?”. KH Syuja' menjawab,
"ya, sudah kami amalkan dalam shalat sehari-hari". Maksud Kyai
Syuja', sudah dipraktikkan dalam shalat, dibaca sehari-hari.
Tapi ternyata maksudnya bukan itu. Akhirnya, KH Ahmad
Dahlan menjelaskan maksud mengamalkan surat al-Ma’un. Menurut beliau,
mengamalkan bukan sekadar menghafal atau membaca ayat tersebut. Namun,
mengamalkan berarti mempraktikkan al-Ma’un dalam bentuk amalan nyata.
“Oleh karena itu", lanjut KH Ahmad Dahlan,
“carilah anak-anak yatim, bawa mereka pulang ke rumah, berikan sabun untuk
mandi, pakaian yang pantas, makan dan minum, serta berikan mereka tempat
tinggal yang layak. Untuk itu pelajaran ini kita tutup, dan laksanakan apa yang
telah saya perintahkan kepada kalian".
KH Ahmad Dahlan lantas mengajak murid-muridnya mencari
anak yatim, dan kemudian melaksanakan apa yang sudah difirmankan Allah
tersebut. Dari sana, lahirlah Muhammadiyah dengan amal usahanya, yang kini
telah genap melampaui satu abad usianya dengan Muktamar di Yogya tahun lalu.
Inilah teologi
Al-Ma'un, landasan bagi gerakan sosial Islam. Dan dimensinya yang universal
menembus batas jama'ah, menembus batas ormas, bahkan menembus batas-batas
agama. Fastabiqul Khairat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar