Rabu, 24 Agustus 2011

Intelektual Pengabdi Kekuasaan


Hari ini terasa gerakan mahasiswa bergerak sudah minim akan kemurnian idealisme, masing-masing mahasiswa terpecah menjadi golongan-golongan dan berafiliasi dengan berbagai elemen-elemen politik bobrok yang ada di negeri ini.
                Sepenggal kalimat dari paragraf di atas nampaknya tidak asal-asalan karena realitas memang seperti itu, kini ramai menjadi trend dalam dunia gerakan mahasiswa untuk tergabung pada satu entitas kelompok atau golongan tertentu, yang dengan entitas atau golongan itu berafiliasi dengan salah satu partai politik tertentu yang kenyataannya ditunggangi oleh kepentingan politik demi memperebutkan pucuk kekuasaan negeri ini yang secuil. Wajar saja mengapa hal ini marak terjadi pada aktivis mahasiswa, Karena bergabung dengan salah satu entitas atau golongan tertentu yang memiliki tendensi kepentingan politik tertentu agaknya ada secuil jaminan akan harta, tahta, dan wanita atau akan kepastian secercah kesejahteraan pribadi untuk hidup di masa depan. Tapi dengan catatan mereka harus megabdikan diri, pikiran, dan idealisme mereka pada dokrin ketaatan yang dipropagandakan oleh entitas atau golongan yang mereka afiliasikan bahkan mereka sangat patuh terhadap intruksi dari golongan tersebut yang terkadang melebihi kepatuhan terhadap kedua orang tua mereka sendiri. Namun jika tidak tunduk dan patuh, atau jika paling tidak ketika entitas atau golongan tersebut mulai mendekati dan akan hendak merekrut namun kita menolak maka konsekuensinya bersiap-siaplah akan diasingkan, dikucilkan, dan tidak akan pernah bisa menduduki jabatan-jabatan penting dalam organisasi - organisasi kemahasiswaan pada kampus, seperti (BEM, ataupun lembaga legistatif kampus, lembaga dakwah kampus, UKM-UKM, dll).
                Miris agaknya fenomena ini, kampus atau lembaga pendidikan tinggi yang identik akan keluhuran ilmu pengetahuan yang seyogyanya mengedepankan pusat kekuatan moral dalam masyarakat, pemihak pada kebenaran keadilan, dan keagungan budi pengerti. Tapi justru besebrangan dengan kondisi ideal semestinya, kampus mulai tercemari oleh gerakan-gerakan politik kekuasaan, kampus mulai ternodai gerakan moralnya oleh kepentingan-kepentingan politis demi merebut pucuk kekuasaan yang secuil, walaupun banyak nilai-nilai kebenaran dan keadilan terabaikan atau dengan sengaja dipreteli adanya.
Kini marak pula partai-partai politik, gerakan-gerakan ekstra yang mengatasnamakan perjuangan atas seruan agama. Hal ini pulalah yang membuat banyak kaum intelektual kini (baca:mahasiswa) menjadi tunduk, patuh, dan sangat loyal bermental inlander, padahal belum tentu lagi benar adanya apa yang mereka doktrinkan. Malah hal yang sering terlihat pada entitas atau golongan tersebut yang menunggangi gerakan kaum intelektual kini lebih berkonsentrasi pada bagaimana caranya menaruh paham sehebat-hebatnya mengakar di kampus, merekrut kaum-kaum intelektual yang tergoyahkan idealismenya atas doktrin mereka dan menguasai semua jabatan-jabatan penting di kampus, guna mempermudah semua kepentingan mereka. Minim sekali melakukan kegiatan-kegiatan yang berfokus pada keagamaan dan gerakan sosial, seandainya ada paling juga ini dimaksudkan untuk tujuan awal seperti yang dipaparkan di atas. Alih-alih ingin menegakkan syariat atau tuntunan agama secara sepenuhnya, namun realitas yang ada justru sebaliknya. Tak perduli apakah cara dan strategi yang digunakan masih sejalur dengan nilai-nilai idealita kebenaran dan keadilan, yang penting tujuan sempit  mereka merebut pundi-pundi kekuasaan-kekuasaan yang ada dapat terlaksana dan tercapai.
Hingga kini jadilah kampus menjadi pundi-pundi kekuatan politik bobrok yang digunakan untuk merebut dan menduduki pucuk kekuasaan di negeri ini. Sungguh ironis, namun inilah keadaan kaum intelektual kita walaupun tidak semua kaum intelektual yang ada di negeri ini seperti itu, namun sebagian besar lebih kurang mengalami fenomena ini. Kini marak mahasiswa yang terjun aktif di BEM, di organisasi-organisasi kemahasiswaan lainnya untuk memburu kekuasaan, jabatan, kedudukan, dan kepopularitasan diri sehingga setelah meraih tampuk kekuasaan biasanya mereka tidak menganggap amanah sebagai sebuah amanah dan penuh tanggung jawab namun hanya sebagai batu loncatan agar dapat meraih sesuatu yang lebih besar lagi. Kembali kita mengerutkan kening atas realita ini, padahal idealnya fase mahasiswa adalah fase saatnya membangun pondasi idealisme setinggi-tingginya agar menjadi bekal untuk terus dapat berpijak pada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran sampai tua nanti sehingga tercipta pribadi intelektual civil society yang melahirkan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal (seorang negarawan).
Berbagai media cetak, elektronik, dan lainnya sering kita temui penjelasan dan artian makna kata “intelektual”, namun kalau diperhatikan kini mulai pudar kaum intelektual (mahasiswa) yang masih tegak berdiri atas ideologi kebenaran dan kejujuran. Mengutip pernyataan salah satu tokoh “Seorang intelektual adalah seorang yang memiliki pengetahuan umum secara memadai sehingga mampu menangkap fenomena yang tengah berlangsung di tengah masyarakat, bangsa, dan negaranya dan memiliki komitmen untuk membela kepentingan bangsanya serta sanggup menanggung resiko dalam perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran". Dengan demikian seharusnya kaum intelektual dengan pondasi idealismenya memegang peran menentukan dalam setiap perubahan sosial, bahkan revolusi, yang terjadi di negara mereka selama mereka masih berpijak pada nila-nilai kebenaran, keadilan, dan kejujuran.
Apa yang kini terjadi dihadapan kita nampaknya sedikit mirip atau sejarah berulang pada apa yang dialami salah satu mahasiswa FSUI kala itu di era 60-an, “Soe-Hok Gie” namanya. Sampai-sampai perkataannya yang terkenal adalah “lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan” dalam mempertahankan idealismenya ketika gerakan-gerakan entitas atau golongan ekstra kampus yang sarat dengan kepentingan politis kekuasaan hadir menghegemoni kampus, akibatnya gerakan-gerakan tersebut memonopoli politik kampus demi berebut tampuk kepemimpinan agar dapat melanggengkan kepentingan politik kekuasaannya, kampus yang seharusnya dapat menjadi prototipe sistem ketatanegaraan yang ideal demi terwujudnya pembelajaran politik yang bertujuan membentuk civil society yang mumpuni. Tapi yang ada justru sebaliknya, Kembali kini kita berfikir apa yang harus kita lakukan menghadapi gelombang fenomena ini, dan bagaimana menentukan sikap dalam menghadapi realita ini. Rasanya teruslah bersemangat untuk belajar, terus semangat membangun tradisi ilmiah, yang kini tengah mulai pudar dihantam arus matrealistik, hedonistik dan mungkin dengan sering-sering merasakan hidup berdampingan dengan kehidupan orang-orang kecil terpinggirkan agar kita dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemudian jangan mudah percaya dengan siapapun dan beranilah untuk berkata “tidak” walaupun dengan resiko diasingkan dan jauh dari harta, tahta, dan wanita. Jadilah kaum intelektual sejati, yang bergerak atas nilai-nilai nurani, kebenaran, keadilan, idealis, dan tidak ditunggangi kepentingan golongan tertentu. Janganlah takut untuk beridealis dan jangan pula takut untuk diasingkan dan jauh dari kemapanan. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi sebuah pengingatan kita semua khususnya kaum intelektual (baca:mahasiswa) agar terus memupuk nilai-nilai yang sesuai dengan kebenaran dan keadilan, hingga akhirnya kita tidak pernah takut lagi berada pada posisi membela yang benar walau dalam keadaan yang menyakitkan, terasing, dan jauh dari kemapanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar