Mengawali
diskusi hangat pada sabtu pagi itu dalam rangkaian acara Pelatihan Kepemimpinan
Mahasiswa Universitas (PKMU) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tahun 2011,
pembicaraan bermula dari rasa kegelisahan yang sama diantara semua
mahasiswa-mahasiswa Universitas Negeri Jakarta bahwa saat ini, mereka semua
sepakat bahwa Universitas Negeri Jakarta sedang dalam keadaan tidak baik.
Mengapa
kegelisahan ini muncul? Saat ini Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sedang
melakukan pembangunan besar-besaran dalam hal materil dan fisik demi mengejar
pamor Universitas Negeri Jakarta menjadi universitas berkelas internasional
atau sering disebut World Class
University, namun melupakan arti penting dari pembangunan UNJ menuju World Class University yaitu pembangunan
pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang memanusiakan manusia, dan
pendidikan yang sesuai denga identitas bangsa. Bagi para pimpinan UNJ untuk
dapat meningkatkan kualitas UNJ yang dibutuhkan paling utama hanyalah satu yaitu
perbaikan seluruh infrastruktur dan suprastruktur kampus, kemudian modernisasi
dan UNJ yang sekarang lebih mirip sebagai sebuah terminal dibanding kampus, untuk
dapat menjadi sebuah komplek universitas dengan infrastruktur berwawasan
internasional.
Untuk
mewujudkan pandangan itu semua, dengan segala keterbatasan UNJ yang ada
akhirnya harus dipaksa berlari dan instan agar realisasi dari pandangan
tersebut segera dilaksanakan. Akibatnya sekarang UNJ berbondong-bondong mencari
dana segar untuk biaya pembangunan. Hal ini menyebabkan mahasiswa menjadi objek
vital korban eksploitasi pimpinan-pimpinan kampus melalui kebijakan-kebijakan
yang diputuskan dengan tidak demokratis dan mahasiswa tidak dilibatkan dalam
setiap proses pengambilan kebijakan.
Guru-guru
besar UNJ sekarang tidak bisa berbuat banyak dan mereka lebih memilih untuk
diam atas kondisi ini, pun juga dosen-dosen di lingkungan UNJ yang lebih banyak
memilih untuk diam dan tidak mau tahu akan hal ini, karena mereka takut akan
ancaman pemecatan, terasingkan, atau dimusuhi. Namun masih ada juga sebagian
dosen yang tergerak atas kondisi ini sehingga sampai saat ini masih terus
berani memberikan kritikan kepada para pimpinan UNJ.
Pembangunan
besar-besaran yang tengah berlangsung di lingkungan UNJ akhirnya dibiayai oleh
dana hutang dari Islamic Development Bank (IDB)
dan hal ini juga memunculkan berbagai tanda tanya, dengan apa UNJ
membayar nantinya?
Sekarang
pun sudah mulai terasa bentuk eksploitasi mahasiswa khususnya dalam hal
uang-uang yang harus dibayarkan untuk dapat terus menempuh bangku-bangku
pendidikan di lingkungan UNJ. Tarif parkir naik 50% dari sebesar Rp. 500
menjadi Rp. 1000 namun tidak diimbangi dengan perbaikan pelayanan dan keamanan
parkir, justru yang ada malah sebaliknya. Pelayanan semakin buruk,
kesejahteraan karyawan, satpam, dan petugas parkir juga tidak meningkat,
ditambah lagi dengan lebih seringnya frekuensi kehilanggan kendaraan ataupun
helm dari para pengguna jasa parkiran. Kini kondisi parkiran juga menjadi
semakin semerawut dan mungkin menurut penulis UNJ saat ini lebih layak disebut
sebagai terminal dibandingkan seperti sebuah kampus. Parkiran di UNJ hanya
seperti kita sedang menggunakan jasa jalan tol saja, harus bayar ketika masuk
dan tidak mendapatkan pelayanan yang baik di dalam.
Itu
mengenai permasalahan tarif parkir, belum lagi mengenai kebijakan kenaikan
biaya kuliah di UNJ untuk mahasiswa angkatan baru 2011 ini. Kenaikan biaya yang
sangat tidak rasional karena kenaikannya tidak berkisar 20%-30% dari biaya
kuliah tahun sebelumnya, namun kenaikan biaya kuliah angkatan 2011 berkisar
antara 50%-80% jika dibandingkan dengan rincian biaya kuliah tahun lalu yang
terlampir di BAAK UNJ.
Begitu
pun dengan biaya wisuda yang semakin gila-gilaan padahal penyelenggaraan wisuda
yang sangat begitu memprihatinkan. Sempat masuk jajaran berita favorit di media
elektronik mengenai biaya wisuda yang gila-gilaan mahalnya dibandingkan
kampus-kampus negeri lainnya yang ada di Indonesia.
Apalagi
yang menjadi keluhan setiap mahasiswa UNJ baik yang paling brandal hingga yang
paling alim?Mungkin Sistem Informasi Akademik (SIAKAD) UNJ yang selalu eror
ketika disaat mahasiswa benar-benar sedang membutuhkan, seperti pada saat waktu
untuk melihat nilai, mengisi kartu rencana studi (KRS). Dari sini sudah tergambar
sampai dimana kemampuan IT UNJ? Silahkan pembaca nilai sendiri. Lalu bagaimana
dan kemanakah uang bayaran yang naik sampai sebesar itu dengan dalih untuk
memperbaiki seluruh elemen kampus? Sudah hampir genap satu semester namun belum
ada perbaikan yang berarti.
Jika
penulis beristirahat di kantin atau di pojok-pojok kampus tempat biasa para
pedagang dan warga sekitar kampus berkumpul, selalu saja terdengan keluhan
mereka atas biaya sewa kios, biaya sewa tempat untuk berdagang yang naik sangat
tidak bijaksana. Hal ini membuat harga makanan pun menjadi semakin mahal
akhirnya. Dan korbannya ya mahasiswa lagi, harus mengeluarkan uang jauh lebih
banyak untuk biaya hidup.
Kawan-kawan
kelompok peneliti dan sebagian dosen selalu mengeluhkan tentang dana penelitian
mereka yang selalu disunat tanpa ada transparansi keuangan yang jelas, pun juga
dengan kawan-kawan forum bidik misi dan beasiswa lainnya. Mereka heran kok bisa
ya masih saja menyunat dana yang sudah jelas-jelas diperuntukan bagi pengembangan
kualitas pendidikan bahkan oleh kementrian pendidikan nasional.
Belum
lagi jika mendengar keluhan dari mahasiswa FMIPA yang laboratoriumnya juga tak
kunjung dibenahi, malahan sekarang sering kekeringan air di laboratorium FMIPA.
Beragam keluhan dan ketidakpuasan dari seluruh elemen kampus atas
penyelenggaraan pelayanan kampus yang semakin memburuk menelurkan pertanyaan
kemana kenaikan uang yang telah dibayarkan mahasiswa?
sungguh sangat disayangkan, kampus yang kita cintai ini ternyata tidak dicintai oleh pemimpin-pemimpinnya
BalasHapus