Rabu, 24 Agustus 2011

Negeri 1001 Korupsi


“Korupsi lagi, korupsi lagi”, ya begitulah keluh kesah seorang mahasiswa atas kondisi bangsanya yang prestasi dalam bidang korupsi jauh lebih baik atau bahkan amat baik ketimbangan dengan prestasi bangsanya dalam mensejahterakan rakyatnya.
Hampir bosan rasanya karena setiap hari bahkan setiap waktu melihat media massa, elektronik, dan cetak terus menerus dipenuhi berita atau laporan kasus-kasus korupsi. Terheran juga mengapa kasus-kasus korupsi yang ada tidak pernah selesai dan harus dipetimatikan atau kasus-kasus korupsi yang sudah ada belum selesai diusut namun sudah bermunculan kembali kasus-kasus korupsi yang baru. Sepertinya memang ada suatu kompetisi diantara para elit pejabat kita di seluruh lembaga di negeri ini untuk berlomba-lomba dan sebanyak-banyaknya merampas kekayaan negara yang semestinya menjadi amanah mereka untuk mengolanya kemudian disampaikan kepada yang berhak.
Ya Allah, apakah ini sebuah kutukan bagi negeri yang bergelimangan sumber daya alam ini? Mengapa Engkau utus pemimpin-pemimpin yang lebih mementingkan dirinya sendiri beserta golongannya saja ketimbang mementingkan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara yang mereka pimpin? Dan kapan pula derita ini akan berakhir kemudian berganti cerita? Ataukah darah harus tertumpahkan kembali demi mewujudkan Indonesia yang merdeka dari korupsi?
Negeri ini sejatinya bukanlah negeri yang berpenghuni orang-orang bodoh dan terbelakang. Penduduk Indonesia kini telah jauh berbeda dengan zaman kerajaan, penjajahan Belanda, ataupun penjajahan Jepang. Kini penduduk Indonesia telah banyak yang cerdas, lihat saja kita (baca:Indonesia) yang selalu memenangkan olimpiade matematika, fisika, kimia, dan ilmu pasti lainnya. Kita punya banyak orang-orang yang bergelar akademik sangat luhur mulai dari sarjana sampai professor, kita punya banyak generasi muda yang kreatif inovatif dalam berkarya hingga seringkali produk yang mereka hasilkan menjadi idaman orang-orang asing, kemudian kita punya lembaga pendidikan tinggi yang namanya tersohor sampai jauh ke benua lain karena kualitasnya yang baik sehingga banyak orang-orang asing berdatangan ke sini untuk menimba ilmu. Dan terakhir padahal kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang cerdas karena sekolah mereka yang tinggi sampai jauh ke belahan dunia sana serta gelar merekapun rata-rata master hingga professor atau bahkan guru besar.
Tetapi mengapa korupsi seakan menjadi hal yang tidak terpisahkan dari negeri yang bernama Indonesia. Atau mungkin haruskah kita mengubah nama negeri ini dari Indonesia menjadi Nusantara, agar kita terbabas dari derita korupsi berkepanjangan?
Tanda tanya besar memang selalu menjadi jawaban yang layak atas ironi ini, korupsi sesungguhnya tindak kejahatan yang memiliki daya rusak amat sangat dahsyat khususnya untuk memiskinkan negara dan membangkrutkan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyakit korupsi di Indonesia telah menjalar ke seluruh lembaga dan instansi pemerintahan, baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif di negeri ini. Korupsi adalah tindak kejahatan luar biasa yang seharusnya hukumannya pun juga merupakan hukuman luar biasa namun apalah daya, penegakan hukum di Indonesia seperti mendewakan uang sehingga penegakan hukum senantiasa tebang pilih dan jauh dari kesan menegakkan keadilan dan memihak pada kebenaran.
Semestinya kini Indonesia harus sudah mulai memberanikan diri untuk menerapkan sistem hukuman mati bagi para koruptor dan bandit uang rakyat itu, berapapun besarnya dan apapun bentuknya korupsi tetap merupakan hina dan menyengsarakan orang lain, khususnya rakyat kecil, miskin, bodoh, dan tertindas. Koruptor harus dihukum mati dan harus dimiskinkan semua asetnya hingga koruptor tersebut jera dan dapat menjadi pelajaran bagi semua bahwa korupsi merupakan hal yang sangat hina dan merupakan tindakan kontra konstitusi, kontra reformasi, kontra revolusioner, dan kontra amanat cita-cita pendirian bangsa.
Tunggulah saja sampai Allah menurunkan keputusannya terhadap negeri 1001 korupsi ini. Kemanakah nurani dan moralmu wahai elite negeri ini? Bukankah kalian seorang yang mengenyam bangku-bangku pendidikan bahkan lanjut hingga pendidikan tinggi dan superior, kami yakin sejadi-jadinya bahwa kalian adalah orang-orang hebat dalam bidang kalian masing-masing namun mengapa kalian kini terlena dengan kekuasaan dan amanah yang telah dimandatkan kepada kalian? Ingat kami wahai pemimpinku, ingat kami yang mesti kau urus dan kau perhatikan kesejahteraannya bukan kau miskinkan dan kau sengsarakan dengan nafsu pribadi serta golonganmu, ingatlah hidup hanyalah untuk memberi sebanyak-banyaknya bukan menerima sebanyak-banyaknya dan setiap kita pasti akan dimintai pertanggungjawaban kelak di negeri akhirat kelak atau apa yang telah diamanahkan kepada kita dan atas apa yang telah kita perbuat.
Renungkanlah wahai elite negeriku, mereka orang-orang yang miskin dan kecil itu ketika sakit mesti mebaringkan tubuhnya diatas rel kereta api karena tak mampu berobat dan hanya itu yang bisa mereka lakukan karena mereka percaya itu dapat menyembuhkan penyakit mereka ketimbang dokter, renungkanlah mereka balita-balita Indonesia yang nasib masa depan bangsa ini ada pada mereka kini mereka tergulai lemas menderita gizi buruk karena sang ibu tak mampu membeli makan. Dan renungkanlah tiap pemuda-pemudi Indonesia yang hendak lanjut pendidikannya di pendidikan tinggi tapi langkah mereka harus terhenti di depan pintu gerbang kampus karena tak mampu bayar uang kuliah dan uang masuk, padahal merekalah putra-putri terbaik bumi pertiwi ini dengan otak cerdas secepat kilat dalam berpikir melebihi super komputer apapun yang pernah ada di dunia.
Mudah-mudahan sepenggal tulisan ini dapat menyadarkan kau dan Allah restu hidayah datang menyapamu wahai kau elit negeriku sehingga kau lebih bisa berkerja berbuat untuk Indonesia bukan sebaliknya, dan tidak sibuk membalas surat rekan separtaimu yang sedang terjerat kasus korupsi dan takut anak istrinya jadi korban atas kebengisan rezimmu dalam meraup serta mempertahankan harta dan tahta di negeri Indonesia ini.

harman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar